Perang Tartar Mongol terhadap Daulah Islam dan Penghianatan Syiah terhadap Daulah Islam
Pertengahan bulan Muharam 656 H, pasukan Tartar yang dipimpin Hulagu Khan dengan jenderal perang Kitbugha Noen sampai di benteng Baghdad. Mereka mulai menggali parit dan membangun pangkalan militer untuk bersiap menyerang Baghdad. Majaniq pelempar batu, kendaran-kendaraan perang dan peluncur anak panah siap dioperasikan, menjadikan Baghdad sebagai sasaran empuk baik siang maupun malam.
Mereka adalah bangsa yang telah diisyaratkan kemunculannya oleh Rasulullah saw . Dalam sebuah hadist sahih yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Imam Muslim ;
” Akan terjadi hari Kiamat hingga kalian memerangi satu kaum yang sandal-sandal mereka terbuat dari bulu, dan kalian memerangi bangsa Turk yang bermata sipit, wajahnya merah, hidungnya pesek wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.”
‘Sesungguhnya umatku akan digiring oleh satu kaum yang berwajah lebar, bermata sipit, wajah-wajah mereka seperti tameng (hal itu terjadi tiga kali), hingga mereka dapat mengejarnya di Jazirah Arab. Adapun pada kali yang pertama, selamatlah orang yang lari darinya. Pada kali kedua, sebagiannya binasa dan sebagian lainnya selamat, sementara pada kali yang ketiga, mereka semua membunuh yang tersisa.’ Para Sahabat bertanya, ‘Wahai Nabiyullah! Siapakah mereka?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah bangsa Turk.’ Beliau berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, niscaya kuda-kuda mereka akan ditambatkan di tiang-tiang masjid kaum muslimin.’”
Dia (‘Abdullah) berkata, “Setelah itu Buraidah tidak pernah berpisah dengan dua atau tiga unta, bekal perjalanan, dan air minum untuk kabur sewaktu-waktu, karena beliau mendengar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang musibah yang ditimpakan oleh para pemimpin Turk.”
Inilah mereka bangsa Mongol atau Tartar yang dengan kekuatan 200.000 tentara melenyapkan Kekhalifahan Abbasiyah dari muka bumi hanya dalam kurun waktu 40 hari .Bagdad bersimbah darah , sungai-sungai berubah warna bercampur dengan tinta-tinta ilmu pengetahuan dan bau anyir mayat dimana-mana .Para ahli sejarah mencatat peristiwa ini penuh pilu dan air mata .
Tetapi berapa banyak generasi Islam yang tahu tentang ini ?
Pada akhirnya kebenaran selalu menang .Namun untuk sampai kepada kemenangan ada berbagai peristiwa .Dan inilah peristiwa sejarah yang tak boleh dilupakan ” Perang Ain Jalut “.
****
Haruslah kita pahami saat itu seluruh negeri Islam yaitu Baghdad, Syria dan Asia Tengah sudah jatuh ke tangan tentara Mongol. Hanya tinggal tiga negeri Islam yang belum dimasuki yaitu Makkah, Madinah dan Mesir. Maka Hulagu Khan yang merupakan cucu dari Jenghis Khan terus merangsek berupaya menaklukkan negeri yang lain.
Haruslah kita pahami saat itu seluruh negeri Islam yaitu Baghdad, Syria dan Asia Tengah sudah jatuh ke tangan tentara Mongol. Hanya tinggal tiga negeri Islam yang belum dimasuki yaitu Makkah, Madinah dan Mesir. Maka Hulagu Khan yang merupakan cucu dari Jenghis Khan terus merangsek berupaya menaklukkan negeri yang lain.
Siapa yang menduga bangsa primitif yang jauh dari peradaban pernah mengusai 1/2 dari daratan bumi ini. Bangsa Mongol yang nomaden memutarbalikan semua fakta sejarah. Bagi dunia Islam, penaklukkan oleh Mongol ini mungkin dilihat sebagai suatu pendahuluan, sekaligus miniatur keluarnya Ya’juj Ma’juj pada akhir zaman.
Inilah pendapat dari para Ulama Islam tentang bagaimana nanti peristiwa Ya’juj dan Ma’juj walaupun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa bangsa Mongol ini merupakan keturunan Ya’juj dan Ma’juj namun tidak perlu sampai diperdebatka karena hal terpenting yang harus dipahami adalah bagaimana peristiwa ini terjadi
Para ulama Islam saat itu, hampir tidak mampu mencatat kronologis peristiwa serangan basa barbar ini. Tidak pernah terjadi malapetaka sedasyat itu dalam sejarah bangsa manapun. Seperti yang terucap dari panglima perang Mongol saat pertama kali menguasai kota Baghdad, “Aku adalah malapetaka yang diturunkan Tuhan ke muka bumi untuk menghukum ..”
******
Anda pasti bertanya-tanya bagaimana Eropa saat itu ?
Ya saudara perlu anda tahu Eropa itu masih dalam masa kegelapan .Bahkan Uni Soviet kala itu merupakan negeri-negeri yang berada dalam penaklukan bangsa Mongol .
Ada satu peristiwa penting yang jarang diingat atau bahkan belum banyak yang tahu tentang skenario Allah yang diperlihatkan dalam Perang Ain Jalut .Dan sosok pemberani lagi kuat imannya yang Allah pilih untuk mengajarkan kepada kita bahwa pada akhirnya kemenangan akan menang melawan yang batil ( keburukan)
*****
Anda perlu kenal dengan jelas siapa sosok pemberani yang mematahkan mistis tentang kekuatan bansa Mongol .
Anda perlu kenal dengan jelas siapa sosok pemberani yang mematahkan mistis tentang kekuatan bansa Mongol .
Ya , sosok ini adalah Saifuddin Quthuz satu di antara tokoh besar dalam sejarah Islam dan merupakan penjaga benteng terakhir kaum Muslimin pada saat itu . Nama aslinya adalah Mahmud bin Mamdud.. Ia berasal dari keluarga muslim berdarah biru. Quthuz adalah putra saudari Jalaluddin Al-Khawarizmi, Raja Khawarizmi yang masyhur pernah melawan pasukan Tartar dan mengalahkan mereka, namun kemudian ia kalah dan lari ke India. Ketika ia sedang lari ke India, Tartar berhasil menangkap keluarganya. Tartar membunuh sebagian mereka dan memperbudak sebagian yang lain.
Mahmud bin Mamdud adalah salah satu dari mereka yang dijadikan budak. Tartar menjuluki si Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz, yang berarti “Singa Yang Menyalak”. Tampaknya sedari kecil Quthuz memiliki karakter orang yang kuat dan gagah. Kemudian Tartar jual si Mahmud kecil di pasar budak Damaskus. Salah seorang bani Ayyub membelinya. Dan ia dibawa ke Mesir. Di sini, ia pindah dari satu tuan ke tuan yang lain, sampai akhirnya ia dibeli oleh Raja Al-Mu’izz Izzuddin Aibak dan kelak menjadi panglima besarnya.
Dalam kisah Quthuz ini, kita bisa mencatat dengan jelas bagaimana skenario ajaib Allah SWT. Tartar telah memperdaya muslimin dan memperbudak salah satu anak-anak muslimin dan mereka jual langsung di pasar budak Damaskus. Untuk kemudian ia diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lainnya, yang akhirnya sampai ke suatu negeri yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Boleh jadi karena usianya yang masih kecil ia tidak melihat negeri jauh ini. Namun, pada akhirnya ia menjadi raja di negeri asing itu dan sepak terjang Tartar yang membawanya dari ujung dunia Islam ke Mesir pun harus berakhir di tangannya!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
___Penghianatan Syiah:
Seorang ulama bernama Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul Salam bin Taimiyah Al-Harrani atau biasa disebut Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berjuluk hujjatul Islam, termasuk orang yang berjuang melawan pasukan Tartar. Ia juga mengetahui bagaimana kelompok Syiah Nushairiyah berkhianat terhadap kaum muslimin. Karenanya, Ibnu Taimiyah yang tahu persis bagaimana sepak terjang kelompok Syiah ekstrem ini, menyatakan bahwa mereka adalah kaum kafir dan non muslim yang harus diperangi. Ketika orang-orang Tartar mengepung kota Damaskus, Ibnu Taimiyah dengan lantang mengatakan,”Jangan kalian serahkan benteng ini, meskipun tinggal satu batu bata saja, karena benteng ini adalah untuk kepentingan kaum muslimin. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjaga benteng ini untuk kaum muslimin, sebagai perisai bagi penduduk Syam yang menjadi pusat iman dan sunnah, sampai Isa Ibnu Maryam Alaihissalam turun di sana.”
Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin yang ditulis penganut Syiah Nushairiyah, Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil dijelaskan bahwa sikap kooperatif mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian dari siasat untuk mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah dirampas oleh kaum Sunni.
Tarikh Al-Alawiyyin juga menjelaskan bagaimana kerjasama tokoh Syiah di Aleppo, Thamur Thusi, yang bekerjasama dengan Timur Lenk untuk menguasai kota tersebut. Timur Lenk membunuh kaum muslimin sunni dan membiarkan mereka yang menjadi pengikut Alawiyah. Timur Lenk adalah penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808 Hijriyah. Anak keturunannya pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai penganut ajaran Syiah. Karenanya, di setiap wilayah kekuasannya, Syiah banyak terlibat dalam pemerintahan, termasuk di negeri Persia (Iran). (Lihat:Tarikh Alawiyyin, hlm. 407)
Negeri Syam, termasuk wilayah Damaskus, berhasil kembali ke tangan kaum muslimin, setelah pasukan Syaifuddin Quthuz dan panglima Malik Azh-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari berhasil mengalahkan pasukan Tartar dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina.
Perang yang berlangsung pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil memukul mundul pasukan Tartar dan membuat mereka lari tunggang langgang menyebar ke beberapa wilayah. Pasukan yang dipimpin oleh Syaifuddin Quthuz dan panglima Baibars, berhasil membunuh seorang pemimpin dari sekte Syiah Rafidhah di Damaskus, karena keberpihakan tokoh tersebut kepada pasukan Tartar dalam merampas dan menjarah harta kaum muslimin.
Dengan kemenangan di Perang Ain Jalut ini, Syaifuddin Quthuz yang berasal dari Kerajaan Mamalik Bahriyah (kerajaan wilayah maritim yang dibangun oleh para budak) kemudian menggabungkan negeri Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya semakin luas.
Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah Al-Muyassarah fi At-Tarikh Al-Islamiy”. Tim Riset dan Studi Islam sebagai penyusun buku itu, membuat sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”. Buku yang diberi kata pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani ini menulis, “Baibars berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang dari Sekte Ismailiyah di Syam. Orang-orang Eropa menyebut sekte ini Al-Hasyasyin. Sebelumnya mereka adalah ancaman bagi raja-raja Mesir, sejak masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.” (Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (terj), Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013, hlm.478)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada masa lalu, Syiah Rafidhah, baik itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah, Qaramithah, dan Syiah ekstrem lainnya telah melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam di Syam. Sejarah juga mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para pemimpin Islam. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk Baitul Maqdis, semasa berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah Rafidhah, baik pengaruh dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin mereka. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah Rafidhah yang bercokol di Mesir, Yaman, dan Syam. (Lihat: Dr. Ali Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa juhduhu fi Al-Qadha Ad-Daulah Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait Al-Muqaddas, Mesir: Daar Ibnu Al-Jauzi, 2007, hlm. 257-258
Pengkhianatan Selanjutnya
Ketika Daulah Utsmaniyah berusaha menguasai Syam dan merebutnya dari penjajahan bangsa Eropa; Perancis dan Inggris, pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung. Jumlah mereka yang minoritas, selalu menyimpan ketakutan akan sikap diskriminasi kelompok Sunni yang menjadi warga mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh Syiah Nushairiyah Shaleh Al-Alawi bahkan menjalin hubungan dan menandatangani nota kesepahaman dengan tokoh sekular Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal Attaturk pada tahun 1920. Nota kesepahamaman ini tentu saja bertujuan membendung pengaruh imperium Utsmani di Syam, khususnya di wilayah Suriah yang juga menjadi musuh kaum sekularis seperti Attaturk. Karenanya, Attaturk dengan organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai Persatuan dan Kemajuan) berhasil menumbangkan Khilafah Utsmaniyah pada 1924.
Kelompok Syiah Nushairiyah tentu mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan entitasnya jika Daulah Utsmaniyah tetap bercokol di Syam. Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah yang Sunni akan memposisikan mereka secara diskriminatif. Kekhawatiran inilah yang kemudian terus terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai pengkhianatan terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-musuhnya. Padahal sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi untuk merebut kekuasaan sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan terbukti, rezim Syiah Nushairiyah yang minoritas, justru melakukan berbagai aksi diskriminasi dan kekejaman terhadap kaum muslimin di Suriah.
Sebuah dokumen luar negeri Prancis, Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936 melansir adanya surat dari tokoh-tokoh Alawiyah/Nushairiyah kepada pemerintah Perancis, yang di antaranya ditandatangani oleh Sulaiman Al-Asad, kakek dari Hafizh Asad.
Surat tersebut berisi permohonan agar Prancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena mereka khawatir, jika Prancis hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat tersebut berbunyi:
“Presiden Prancis yang terhormat,
Sesungguhnya bangsa Alawiyah yang mempertahankan kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan penuh semangat dan pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat Muslim (Sunni), dalam hal keyakinan beragama, adat istiadat, dan sejarahnya. Mereka tidak pernah tunduk pada penguasa dalam negeri.
Sekarang kami lihat bagaimana penduduk Damaskus memaksa warga Yahudi yang tinggal bersama mereka untuk tidak mengirim bahan pangan kepada saudara-saudara mereka kaum Yahudi yang tertimpa bencana di Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang datang ke negeri Arab yang Muslim dengan membawa peradaban dan perdamaian, serta menebarkan emas dan kesejahteraan di negeri Palestina, tanpa menyakiti seorang pun, tak pernah mengambil sesuatupun dengan paksa. Namun demikian, kaum muslimin menyerukan “Perang Suci” untuk melawan mereka, meskipun ada Inggris di Palestina dan Perancis di Suriah.
Kita menghargai kemuliaan bangsa yang membawa kalian membela rakyat Suriah dan keinginannya untuk merealisasikan kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh dari tujuan yang mulia. Ia masih tunduk pada ruh feodalisme agama terhadap kaum muslimin.
Kami sebagai rakyat Alawiyah yang diwakili oleh orang-orang yang bertandatangan di surat ini berharap, pemerintah Perancis bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan menyerahkan nasib dan masa depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin bahwa harapan kami pasti mendapaykan dukungan yang kuat dari mereka untuk rakyat Alawiyah, teman yang telah memberikan pelayanan besar untuk Prancis.”
Demikian surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah Nushairiyah, yang membujuk Prancis untuk tetap menjamin dan mendukung keberadaan mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad (kakek Hafizh Asad), Muhammad Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha Hawwasy, Sulaiman Mursyid, dan Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah: Sejarah, Aqidah dan Kekejaman Terhadap Ahlu Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera, 2013, hlm. 65-66)
Pada saat ini, keberadaan rezim Syiah Nushairiyah di Suriah mendapat dukungan yang kuat dari kelompok Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka mempunyai kesamaan ajaran, ideologi, bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam mereka merebut kekuasaan dari kelompok Sunni. Mereka yang hidup minoritas di Suriah, kemudian berkolaborasi dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok militer Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan survive, serta mengamankan kekuasaan mereka yang direpresentasikan dalam kekuasaan Rezim Bashar Al-Asad. Dimanapun, kelompok minoritas akan selalu waspada, struggle, dan berjuang habis-habisan untuk mengamankan eksistensinya. Bahkan, dalam kasus Suriah saat ini, mereka berusaha mengamankan kekuasaan yang sudah sejak tahun 70-an mereka pegang. Mereka khawatir, jika umat Islam berkuasa, maka keberadaan mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya adalah pengkhianat yang tak bisa hidup berdampingan dengan kaum muslimin, selama akidah mereka melecehkan para sahabat, dan mengganggap Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu sebagai tuhan atau menyatu dengan Tuhan.
Untuk mempertahankan keberadaanya, Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak segan-segan untuk berkhianat, bahkan berkolaborasi dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Sebagai kelompok minoritas di Suriah, mereka menerapkan prinsip, “Sebaik-baik pertahanan adalah menyerang!”
Adalah Ibn Al-Alqami seorang syiah, wazir khalifah Al-Musta'shim melakukan pengkhianatan dengan bergabung dengan pasukan Tartar dan berkata manis di depan Khalifah, merayunya untuk keluar menuju Hulagu Khan.
Perjanjian damai disepakati, Khalifah memerintahkan seluruh tentara dan warga Baghdad untuk meletakkan senjata. Sementara Khalifah digiring tentara Tartar menuju Istana. Di sana, seluruh barang berharga dirampas pasukan Tartar dan orang-orang yang berkhianat. Khalifah dibunuh dengan cara dimasukkan ke dalam tas besar lalu ditendang oleh sejumlah tentara. Menandakan berakhirnya kekuasaan dinasti Abbasiah.
Pasukan Tartar mulai memasuki pemukiman penduduk dan menebarkan bencana yang besar bagi umat Islam. Mereka membunuh setiap orang yang mereka jumpai, hingga bayi-bayi yang masih berada dalam kandungan. Mereka menjarah semua harta, merobohkan rumah-rumah dan membakar buku-buku, hingga air sungai Tigris berwarna hitam penuh abu bercampur darah.
Bulan Shafar 658 H, pasukan Tartar tiba di Aleppo. Di sana, apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan di Baghdad. Selanjutnya mereka meluluhlantakkan kota Damaskus. Saat itu, kaum Nasrani Damaskus mulai menampakkan kesombongannya. Mereka mulai mengangkat salib-salib mereka, menuangkan khamar di masjid-masjid dan menyiramkannya kepada orang-orang yang sedang shalat.
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi mengapa Hulagu sangat bernafsu menaklukkan wilayah muslim dan kejam setiap kali dia berhasil menguasainya. Hal itu disebabkan Ibu Hulagu, istri dan sahabat dekatnya, Kitbuqa termasuk kristen fanatik yang memendam kebencian mendalam terhadap orang muslim. Juga para penasehatnya banyak yang berasal dari Persia yang memang berharap dapat membalas dendam atas kekalahan mereka satu abad sebelumnya ketika Persia ditaklukan oleh pasukan muslim pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Perang Ain Jalut
Sebelum menyerang Mesir, Hulagu Khan mengirim surat kepada penguasa Mesir, Muzhaffar Saifuddin "Quthuz" bin Abdillah Al-Muiz yang berasal dari keturunan para Sultan Al-Khawarizmi di Asia Tengah, yang sebelumnya telah dibumi hanguskan oleh Kaisar Jengis Khan, kakek Hulagu Khan. Dalam suratnya Hulagu Khan meminta Saifuddin Quthuz untuk menyerah. Ketakutanpun menghantui warga mesir, hingga akhirnya Saifuddin Quthuz menyerukan semangat jihad, atas nasehat Al-Imam Izzuddin bin Abdis Salam.
Ramadhan 658 H, bersama 40.000 tentara, Saifuddin Quthuz bergerak menuju Shalihiyah, lalu mengobarkan semangat jihad di sana, kemudian mengangkat Ruknuddin Baibars untuk memimpin Pasukan menuju Gaza. Sementara itu Hulagu Khan memerintahkan Kitbugha Noen panglima Tartar yang kristen, menggantikan kedudukannya, sedangkan dia sendiri pulang ke Cina untuk ikut serta dalam pemilihan Khan penguasa Mongol, setelah kematian penguasa sebelumnya, yaitu Mongke Khan, kakak Hulagu Khan.
Di Ain Jalut, dataran luas yang dikelilingi perbukitan di bagian barat, Saifuddin Quthuz menyusun strategi perang menghadapai tentara Tartar. Tak disangka datang seorang utusan dari Sharimuddin Baibars, seorang pemimpin Syam yang bekerja sama dengan Hulaghu Khan dalam menaklukkan negara Islam. Dia menyampaikan pesan bahwa Sharimuddin Baibars akan membantu pasukan Muslimin dari dalam barisan pasukan Tartar Mongol dan membawa tiga informasi penting lainnya. Dia menginformasikan bahwa pasukan Tartar Mongol tidak sebanyak pasukan yang telah menaklukkan negara Islam sebelumnya, dan sayap kanan pasukan Tartar Mongol lebih kuat, serta berita bahwa Al-Asyraf al-Ayyuby menarik dirinya untuk memerangi pasukan Muslimin dan akan menghancurkan pasukan Tartar Mongol dari dalam barisan mereka. Mendengar berita tersebut, Saifuddin Quthuz dan para pemimpin militer lainnya antara membenarkan dan meragukan informasi tersebut. Dengan segera mereka mempersiapkan berbagai strategi.
Malam harinya adalah malam ke 25 Ramadhan 658 H, Saifuddin Quthuz dan seluruh pasukan muslimin beribadah dan bermunajat kepada Allah dengan penuh khusyuk agar diberikan kemenangan pada esok harinya.
Setelah menunaikan shalat subuh dengan penuh khusyuk. Matahari di ufuk timur telah menampakkan wajahnya, dari jauh pasukan muslimin melihat pasukan Tartar Mongol datang dalam jumlah besar. Saifuddin Quthuz mengisyaratkan kepada pasukan pertama yang dipimpin Ruknuddin Baibas untuk turun ke medan terbuka yang secara perlahan dan pasukan lainnya bersembunyi di perbukitan.
Melihat kehadiran pasukan muslimin menuruni bukit, Katbugha Noen panglima pasukan Tartar Mongol terkejut dan terkesima melihat kerapian mereka. Tidak menyangka masih ada kaum muslimin yang masih mempertahankan dirinya dan maju ke medan peperangan dengan gagah berani. Ia terbiasa menyaksikan ketakutan kaum muslimin dengan kedatangan pasukan Tartar Mongol di mana saja. Melihat sedikitnya pasukan muslimin, Katbugha Noen bermaksud menghancurkan kekuatan pasukan Islam ini dengan sekali pukulan. Dengan satu perintah ia mengarahkan seluruh pasukannya tanpa meninggalkan pasukan cadangan dengan maksud satu kali serangan saja pasukan Islam luluh lantak.
Pada saat penting ini tampil berperan pasukan beduk dan terompet memberi isyarat dengan arahan Saifuddin Quthuz. Setiap pukulan dan tiupan terompet memiliki makna. Saifuddin Quthuz memberi isyarat maju kepada pasukannya. Dengan serentak, di bawah komando Ruknuddin Baibars pasukan Islam mulai menyerang. Akhirnya kedua pasukan bertemu, dan perang pun tak terelakkan lagi. Senjata saling beradu dan korban berjatuhan. Pemandangan berubah seketika. Tatkala takbir para petani Palestina mengiringi berlangsungnya pertempuran hebat yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya.
Dari jauh Saifuddin Quthuz dengan sabar dan tenang, mengamati dan mengontrol gerakan pasukannya. Kemudian mengisyaratkan untuk melakukan strategi mundur perlahan ke arah selatan 'Ain Jalut memancing pasukan Tartar Mongol ke tengah pasukan Islam yang bersembunyi di perbukitan yang mengelilingi medan 'Ain Jalut. Manuver ini terlaksana dengan baik. Pada waktu yang tepat manuver lainnya dilakukan, isyarat kepungan ditunjukkan oleh Saifuddin Quthuz sehingga pasukan Islam turun dari perbukitan lalu mengepung pasukan Tartar Mongol dari semua penjuru. Katbugha Noen terkejut dengan strategi pasukan Islam dan menyadari bahwa mereka telah dikepung di medan 'Ain Jalut. Tidak ada kesempatan untuk lari. Mereka harus bertempur dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki meski semua gerakan mereka terlihat bebas oleh pasukan muslimin.
Sayap kanan pasukan Tartar sungguh kuat. Hampir saja sayap kiri pasukan muslimin dikuasai dan membalikkan kepungan. Saifuddin Quthuz mengamati pasukannya dan memerintahkan pasukan cadangan untuk membantu sayap kiri pasukan Islam. Namun tetap belum bisa mengimbangi kekuatan Pasukan Tartar Mongol. Saifuddin Quthuz melihat pasukan Islam gentar terhadapa pasukan Tartar, akhirnya Saifuddin Quthuz turun berperang bersama pasukannya. Dengan membuka perlengkapan perangnya ia memacu kuda dan berteriak "wa islamah, wa islamah", langsung menerobos pasukan musuh tanpa ada keraguan dan berpikir panjang dengan masa mudanya yang masih panjang. Ia memberi pelajaran berharga kepada semua kaum muslimin agar mencari syahid dan tidak gentar terhadap musuh. Hal ini menambah semangat dan mental pasukan muslimin untuk mencari syahid fi sabilillah.
Anda perlu kenal dengan jelas siapa sosok pemberani yang mematahkan mistis tentang kekuatan bansa Tartar Mongol .
Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin yang ditulis penganut Syiah Nushairiyah, Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil dijelaskan bahwa sikap kooperatif mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian dari siasat untuk mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah dirampas oleh kaum Sunni.
Tarikh Al-Alawiyyin juga menjelaskan bagaimana kerjasama tokoh Syiah di Aleppo, Thamur Thusi, yang bekerjasama dengan Timur Lenk untuk menguasai kota tersebut. Timur Lenk membunuh kaum muslimin sunni dan membiarkan mereka yang menjadi pengikut Alawiyah. Timur Lenk adalah penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808 Hijriyah. Anak keturunannya pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai penganut ajaran Syiah. Karenanya, di setiap wilayah kekuasannya, Syiah banyak terlibat dalam pemerintahan, termasuk di negeri Persia (Iran). (Lihat:Tarikh Alawiyyin, hlm. 407)
Negeri Syam, termasuk wilayah Damaskus, berhasil kembali ke tangan kaum muslimin, setelah pasukan Syaifuddin Quthuz dan panglima Malik Azh-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari berhasil mengalahkan pasukan Tartar dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina.
Perang yang berlangsung pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil memukul mundul pasukan Tartar dan membuat mereka lari tunggang langgang menyebar ke beberapa wilayah. Pasukan yang dipimpin oleh Syaifuddin Quthuz dan panglima Baibars, berhasil membunuh seorang pemimpin dari sekte Syiah Rafidhah di Damaskus, karena keberpihakan tokoh tersebut kepada pasukan Tartar dalam merampas dan menjarah harta kaum muslimin.
Dengan kemenangan di Perang Ain Jalut ini, Syaifuddin Quthuz yang berasal dari Kerajaan Mamalik Bahriyah (kerajaan wilayah maritim yang dibangun oleh para budak) kemudian menggabungkan negeri Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya semakin luas.
Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah Al-Muyassarah fi At-Tarikh Al-Islamiy”. Tim Riset dan Studi Islam sebagai penyusun buku itu, membuat sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”. Buku yang diberi kata pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani ini menulis, “Baibars berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang dari Sekte Ismailiyah di Syam. Orang-orang Eropa menyebut sekte ini Al-Hasyasyin. Sebelumnya mereka adalah ancaman bagi raja-raja Mesir, sejak masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.” (Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (terj), Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013, hlm.478)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada masa lalu, Syiah Rafidhah, baik itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah, Qaramithah, dan Syiah ekstrem lainnya telah melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam di Syam. Sejarah juga mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para pemimpin Islam. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk Baitul Maqdis, semasa berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah Rafidhah, baik pengaruh dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin mereka. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah Rafidhah yang bercokol di Mesir, Yaman, dan Syam. (Lihat: Dr. Ali Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa juhduhu fi Al-Qadha Ad-Daulah Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait Al-Muqaddas, Mesir: Daar Ibnu Al-Jauzi, 2007, hlm. 257-258
Pengkhianatan Selanjutnya
Ketika Daulah Utsmaniyah berusaha menguasai Syam dan merebutnya dari penjajahan bangsa Eropa; Perancis dan Inggris, pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung. Jumlah mereka yang minoritas, selalu menyimpan ketakutan akan sikap diskriminasi kelompok Sunni yang menjadi warga mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh Syiah Nushairiyah Shaleh Al-Alawi bahkan menjalin hubungan dan menandatangani nota kesepahaman dengan tokoh sekular Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal Attaturk pada tahun 1920. Nota kesepahamaman ini tentu saja bertujuan membendung pengaruh imperium Utsmani di Syam, khususnya di wilayah Suriah yang juga menjadi musuh kaum sekularis seperti Attaturk. Karenanya, Attaturk dengan organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai Persatuan dan Kemajuan) berhasil menumbangkan Khilafah Utsmaniyah pada 1924.
Kelompok Syiah Nushairiyah tentu mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan entitasnya jika Daulah Utsmaniyah tetap bercokol di Syam. Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah yang Sunni akan memposisikan mereka secara diskriminatif. Kekhawatiran inilah yang kemudian terus terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai pengkhianatan terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-musuhnya. Padahal sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi untuk merebut kekuasaan sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan terbukti, rezim Syiah Nushairiyah yang minoritas, justru melakukan berbagai aksi diskriminasi dan kekejaman terhadap kaum muslimin di Suriah.
Sebuah dokumen luar negeri Prancis, Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936 melansir adanya surat dari tokoh-tokoh Alawiyah/Nushairiyah kepada pemerintah Perancis, yang di antaranya ditandatangani oleh Sulaiman Al-Asad, kakek dari Hafizh Asad.
Surat tersebut berisi permohonan agar Prancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena mereka khawatir, jika Prancis hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat tersebut berbunyi:
“Presiden Prancis yang terhormat,
Sesungguhnya bangsa Alawiyah yang mempertahankan kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan penuh semangat dan pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat Muslim (Sunni), dalam hal keyakinan beragama, adat istiadat, dan sejarahnya. Mereka tidak pernah tunduk pada penguasa dalam negeri.
Sekarang kami lihat bagaimana penduduk Damaskus memaksa warga Yahudi yang tinggal bersama mereka untuk tidak mengirim bahan pangan kepada saudara-saudara mereka kaum Yahudi yang tertimpa bencana di Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang datang ke negeri Arab yang Muslim dengan membawa peradaban dan perdamaian, serta menebarkan emas dan kesejahteraan di negeri Palestina, tanpa menyakiti seorang pun, tak pernah mengambil sesuatupun dengan paksa. Namun demikian, kaum muslimin menyerukan “Perang Suci” untuk melawan mereka, meskipun ada Inggris di Palestina dan Perancis di Suriah.
Kita menghargai kemuliaan bangsa yang membawa kalian membela rakyat Suriah dan keinginannya untuk merealisasikan kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh dari tujuan yang mulia. Ia masih tunduk pada ruh feodalisme agama terhadap kaum muslimin.
Kami sebagai rakyat Alawiyah yang diwakili oleh orang-orang yang bertandatangan di surat ini berharap, pemerintah Perancis bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan menyerahkan nasib dan masa depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin bahwa harapan kami pasti mendapaykan dukungan yang kuat dari mereka untuk rakyat Alawiyah, teman yang telah memberikan pelayanan besar untuk Prancis.”
Demikian surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah Nushairiyah, yang membujuk Prancis untuk tetap menjamin dan mendukung keberadaan mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad (kakek Hafizh Asad), Muhammad Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha Hawwasy, Sulaiman Mursyid, dan Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah: Sejarah, Aqidah dan Kekejaman Terhadap Ahlu Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera, 2013, hlm. 65-66)
Pada saat ini, keberadaan rezim Syiah Nushairiyah di Suriah mendapat dukungan yang kuat dari kelompok Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka mempunyai kesamaan ajaran, ideologi, bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam mereka merebut kekuasaan dari kelompok Sunni. Mereka yang hidup minoritas di Suriah, kemudian berkolaborasi dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok militer Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan survive, serta mengamankan kekuasaan mereka yang direpresentasikan dalam kekuasaan Rezim Bashar Al-Asad. Dimanapun, kelompok minoritas akan selalu waspada, struggle, dan berjuang habis-habisan untuk mengamankan eksistensinya. Bahkan, dalam kasus Suriah saat ini, mereka berusaha mengamankan kekuasaan yang sudah sejak tahun 70-an mereka pegang. Mereka khawatir, jika umat Islam berkuasa, maka keberadaan mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya adalah pengkhianat yang tak bisa hidup berdampingan dengan kaum muslimin, selama akidah mereka melecehkan para sahabat, dan mengganggap Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu sebagai tuhan atau menyatu dengan Tuhan.
Untuk mempertahankan keberadaanya, Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak segan-segan untuk berkhianat, bahkan berkolaborasi dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Sebagai kelompok minoritas di Suriah, mereka menerapkan prinsip, “Sebaik-baik pertahanan adalah menyerang!”
Adalah Ibn Al-Alqami seorang syiah, wazir khalifah Al-Musta'shim melakukan pengkhianatan dengan bergabung dengan pasukan Tartar dan berkata manis di depan Khalifah, merayunya untuk keluar menuju Hulagu Khan.
Perjanjian damai disepakati, Khalifah memerintahkan seluruh tentara dan warga Baghdad untuk meletakkan senjata. Sementara Khalifah digiring tentara Tartar menuju Istana. Di sana, seluruh barang berharga dirampas pasukan Tartar dan orang-orang yang berkhianat. Khalifah dibunuh dengan cara dimasukkan ke dalam tas besar lalu ditendang oleh sejumlah tentara. Menandakan berakhirnya kekuasaan dinasti Abbasiah.
Pasukan Tartar mulai memasuki pemukiman penduduk dan menebarkan bencana yang besar bagi umat Islam. Mereka membunuh setiap orang yang mereka jumpai, hingga bayi-bayi yang masih berada dalam kandungan. Mereka menjarah semua harta, merobohkan rumah-rumah dan membakar buku-buku, hingga air sungai Tigris berwarna hitam penuh abu bercampur darah.
Bulan Shafar 658 H, pasukan Tartar tiba di Aleppo. Di sana, apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan di Baghdad. Selanjutnya mereka meluluhlantakkan kota Damaskus. Saat itu, kaum Nasrani Damaskus mulai menampakkan kesombongannya. Mereka mulai mengangkat salib-salib mereka, menuangkan khamar di masjid-masjid dan menyiramkannya kepada orang-orang yang sedang shalat.
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi mengapa Hulagu sangat bernafsu menaklukkan wilayah muslim dan kejam setiap kali dia berhasil menguasainya. Hal itu disebabkan Ibu Hulagu, istri dan sahabat dekatnya, Kitbuqa termasuk kristen fanatik yang memendam kebencian mendalam terhadap orang muslim. Juga para penasehatnya banyak yang berasal dari Persia yang memang berharap dapat membalas dendam atas kekalahan mereka satu abad sebelumnya ketika Persia ditaklukan oleh pasukan muslim pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Perang Ain Jalut
Sebelum menyerang Mesir, Hulagu Khan mengirim surat kepada penguasa Mesir, Muzhaffar Saifuddin "Quthuz" bin Abdillah Al-Muiz yang berasal dari keturunan para Sultan Al-Khawarizmi di Asia Tengah, yang sebelumnya telah dibumi hanguskan oleh Kaisar Jengis Khan, kakek Hulagu Khan. Dalam suratnya Hulagu Khan meminta Saifuddin Quthuz untuk menyerah. Ketakutanpun menghantui warga mesir, hingga akhirnya Saifuddin Quthuz menyerukan semangat jihad, atas nasehat Al-Imam Izzuddin bin Abdis Salam.
Ramadhan 658 H, bersama 40.000 tentara, Saifuddin Quthuz bergerak menuju Shalihiyah, lalu mengobarkan semangat jihad di sana, kemudian mengangkat Ruknuddin Baibars untuk memimpin Pasukan menuju Gaza. Sementara itu Hulagu Khan memerintahkan Kitbugha Noen panglima Tartar yang kristen, menggantikan kedudukannya, sedangkan dia sendiri pulang ke Cina untuk ikut serta dalam pemilihan Khan penguasa Mongol, setelah kematian penguasa sebelumnya, yaitu Mongke Khan, kakak Hulagu Khan.
Di Ain Jalut, dataran luas yang dikelilingi perbukitan di bagian barat, Saifuddin Quthuz menyusun strategi perang menghadapai tentara Tartar. Tak disangka datang seorang utusan dari Sharimuddin Baibars, seorang pemimpin Syam yang bekerja sama dengan Hulaghu Khan dalam menaklukkan negara Islam. Dia menyampaikan pesan bahwa Sharimuddin Baibars akan membantu pasukan Muslimin dari dalam barisan pasukan Tartar Mongol dan membawa tiga informasi penting lainnya. Dia menginformasikan bahwa pasukan Tartar Mongol tidak sebanyak pasukan yang telah menaklukkan negara Islam sebelumnya, dan sayap kanan pasukan Tartar Mongol lebih kuat, serta berita bahwa Al-Asyraf al-Ayyuby menarik dirinya untuk memerangi pasukan Muslimin dan akan menghancurkan pasukan Tartar Mongol dari dalam barisan mereka. Mendengar berita tersebut, Saifuddin Quthuz dan para pemimpin militer lainnya antara membenarkan dan meragukan informasi tersebut. Dengan segera mereka mempersiapkan berbagai strategi.
Malam harinya adalah malam ke 25 Ramadhan 658 H, Saifuddin Quthuz dan seluruh pasukan muslimin beribadah dan bermunajat kepada Allah dengan penuh khusyuk agar diberikan kemenangan pada esok harinya.
Setelah menunaikan shalat subuh dengan penuh khusyuk. Matahari di ufuk timur telah menampakkan wajahnya, dari jauh pasukan muslimin melihat pasukan Tartar Mongol datang dalam jumlah besar. Saifuddin Quthuz mengisyaratkan kepada pasukan pertama yang dipimpin Ruknuddin Baibas untuk turun ke medan terbuka yang secara perlahan dan pasukan lainnya bersembunyi di perbukitan.
Melihat kehadiran pasukan muslimin menuruni bukit, Katbugha Noen panglima pasukan Tartar Mongol terkejut dan terkesima melihat kerapian mereka. Tidak menyangka masih ada kaum muslimin yang masih mempertahankan dirinya dan maju ke medan peperangan dengan gagah berani. Ia terbiasa menyaksikan ketakutan kaum muslimin dengan kedatangan pasukan Tartar Mongol di mana saja. Melihat sedikitnya pasukan muslimin, Katbugha Noen bermaksud menghancurkan kekuatan pasukan Islam ini dengan sekali pukulan. Dengan satu perintah ia mengarahkan seluruh pasukannya tanpa meninggalkan pasukan cadangan dengan maksud satu kali serangan saja pasukan Islam luluh lantak.
Pada saat penting ini tampil berperan pasukan beduk dan terompet memberi isyarat dengan arahan Saifuddin Quthuz. Setiap pukulan dan tiupan terompet memiliki makna. Saifuddin Quthuz memberi isyarat maju kepada pasukannya. Dengan serentak, di bawah komando Ruknuddin Baibars pasukan Islam mulai menyerang. Akhirnya kedua pasukan bertemu, dan perang pun tak terelakkan lagi. Senjata saling beradu dan korban berjatuhan. Pemandangan berubah seketika. Tatkala takbir para petani Palestina mengiringi berlangsungnya pertempuran hebat yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya.
Dari jauh Saifuddin Quthuz dengan sabar dan tenang, mengamati dan mengontrol gerakan pasukannya. Kemudian mengisyaratkan untuk melakukan strategi mundur perlahan ke arah selatan 'Ain Jalut memancing pasukan Tartar Mongol ke tengah pasukan Islam yang bersembunyi di perbukitan yang mengelilingi medan 'Ain Jalut. Manuver ini terlaksana dengan baik. Pada waktu yang tepat manuver lainnya dilakukan, isyarat kepungan ditunjukkan oleh Saifuddin Quthuz sehingga pasukan Islam turun dari perbukitan lalu mengepung pasukan Tartar Mongol dari semua penjuru. Katbugha Noen terkejut dengan strategi pasukan Islam dan menyadari bahwa mereka telah dikepung di medan 'Ain Jalut. Tidak ada kesempatan untuk lari. Mereka harus bertempur dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki meski semua gerakan mereka terlihat bebas oleh pasukan muslimin.
Sayap kanan pasukan Tartar sungguh kuat. Hampir saja sayap kiri pasukan muslimin dikuasai dan membalikkan kepungan. Saifuddin Quthuz mengamati pasukannya dan memerintahkan pasukan cadangan untuk membantu sayap kiri pasukan Islam. Namun tetap belum bisa mengimbangi kekuatan Pasukan Tartar Mongol. Saifuddin Quthuz melihat pasukan Islam gentar terhadapa pasukan Tartar, akhirnya Saifuddin Quthuz turun berperang bersama pasukannya. Dengan membuka perlengkapan perangnya ia memacu kuda dan berteriak "wa islamah, wa islamah", langsung menerobos pasukan musuh tanpa ada keraguan dan berpikir panjang dengan masa mudanya yang masih panjang. Ia memberi pelajaran berharga kepada semua kaum muslimin agar mencari syahid dan tidak gentar terhadap musuh. Hal ini menambah semangat dan mental pasukan muslimin untuk mencari syahid fi sabilillah.
Anda perlu kenal dengan jelas siapa sosok pemberani yang mematahkan mistis tentang kekuatan bansa Tartar Mongol .
Ya , sosok ini adalah Saifuddin Quthuz satu di antara tokoh besar dalam sejarah Islam dan merupakan penjaga benteng terakhir kaum Muslimin pada saat itu . Nama aslinya adalah Mahmud bin Mamdud.. Ia berasal dari keluarga muslim berdarah biru. Quthuz adalah putra saudari Jalaluddin Al-Khawarizmi, Raja Khawarizmi yang masyhur pernah melawan pasukan Tartar dan mengalahkan mereka, namun kemudian ia kalah dan lari ke India. Ketika ia sedang lari ke India, Tartar berhasil menangkap keluarganya. Tartar membunuh sebagian mereka dan memperbudak sebagian yang lain.
Mahmud bin Mamdud adalah salah satu dari mereka yang dijadikan budak. Tartar menjuluki si Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz, yang berarti “Singa Yang Menyalak”. Tampaknya sedari kecil Quthuz memiliki karakter orang yang kuat dan gagah. Kemudian Tartar jual si Mahmud kecil di pasar budak Damaskus. Salah seorang bani Ayyub membelinya. Dan ia dibawa ke Mesir. Di sini, ia pindah dari satu tuan ke tuan yang lain, sampai akhirnya ia dibeli oleh Raja Al-Mu’izz Izzuddin Aibak dan kelak menjadi panglima besarnya.
Dalam kisah Quthuz ini, kita bisa mencatat dengan jelas bagaimana skenario ajaib Allah SWT. Tartar telah memperdaya muslimin dan memperbudak salah satu anak-anak muslimin dan mereka jual langsung di pasar budak Damaskus. Untuk kemudian ia diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lainnya, yang akhirnya sampai ke suatu negeri yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Boleh jadi karena usianya yang masih kecil ia tidak melihat negeri jauh ini. Namun, pada akhirnya ia menjadi raja di negeri asing itu dan sepak terjang Tartar yang membawanya dari ujung dunia Islam ke Mesir pun harus berakhir di tangannya!
Akhirnya pasukan Islam dapat mengalahkan pasukan Tartar Mongol di bawah kepemimpinan Saifuddin Quthuz. Kitbugha Noen tewas diantara tumpukan mayat tentara Tartar. Saifuddin Quthuz bersujud dan berkata: "Sekarang aku dapat tidur dengan tenang!".
Selanjutnya Baibars, bergerak menuju Damaskus dan dan Aleppo membersihkan sisa-sisa pasukan Tartar, membebaskan tawanan-tawanan muslim dan menghukum para pengkhianat nasrani yang membantu pasukan Tartar menghancurkan Damaskus.
Pasukan Hulagu yang dikirim untuk membalas kekalahan dari Bani Mamluk sebagian dihadang oleh pasukan Berke Khan, Khan Mongol yang menguasai wilayah Rusia dan Kaukasus yang sudah memeluk agama Islam dan bersekutu dengan Bani Mamluk dalam menghadapi serbuan balasan ini. Terjadilah perang saudara, yang terkenal dengan sebutan perang Berke-Hulagu yang berakhir dengan kekalahan telak dari pasukan Hulagu. Sebagian pasukan Hulagu lainnya yang berhasil sampai di Syria bertempur dengan pasukan muslim dari Bani Mamluk pimpinan Baibars dan berhasil dihancurkan juga.
Menurut sejarawan Rashid al-Din, pada saat kota Baghdad jatuh dan mendengar kekejaman Hulagu, sebenarnya Berke Khan sudah mengirim surat kritikan kepada Mongke atas kelakuan Hulagu tetapi dia tidak tahu bahwa Mongke sudah meninggal saat itu dalam perjalanan ke China. Banyak sejarawan mengatakan banyak jasa yang diberikan oleh Berke Khan sehingga menyelamatkan Timur Tengah dari pembalasan Hulagu.
Sumber :
Wikipedia
The History of Hulagu Khan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar