Jumat, 26 Desember 2014

Sejarah Singkat Salahuddin Al-Ayyubi, Sang Pembebas Jerussalem (Darussalam)

Salahuddin Al-Ayyubi

 

Biodata :
Memerintah                 : 1174 M. – 4 Maret 1193 M.
Dinobatkan                  : 1174 M.
Nama lengkap              : Salah al-Din Yusuf Ibn Ayyub
Lahir                            : 1138 M. di Tikrit, Iraq
Meninggal                   : 4 Maret-1193 M. di Damaskus, Syria
Dimakamkan               : Masjid Umayyah, Damaskus, Syria
Pendahulu                   : Nuruddin Zengi
Pengganti                    : Al-Aziz
Dinasti                         : Ayyubiyyah
Ayah                            : Najmuddin Ayyub

Ringkasan :
Salahuddin Ayyubi atau Saladin atau Salah ad-Din (Bahasa Arab: صلاح الدين الأيوبي, Kurdi: صلاح الدین ایوبی) (Sho-lah-huud-din al-ay-yu-bi) (c. 1138 – 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasti Ayyubiyyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz dan Diyar Bakr. Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang ksatria dan pengampun pada saat ia berperang melawan tentara salib. Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Ia memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.

Latar Belakang :
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor).

Di sana, dia mewarisi peranan sulit mempertahankan Mesir melawan penyerbuan dari Kerajaan Latin Jerusalem di bawah pimpinan Amalrik I. Posisi ia awalnya menegangkan. Tidak ada seorangpun menyangka dia bisa bertahan lama di Mesir yang pada saat itu banyak mengalami perubahan pemerintahan di beberapa tahun belakangan oleh karena silsilah panjang anak khalifah mendapat perlawanan dari wazirnya. Sebagai pemimpin dari prajurit asing Syria, dia juga tidak memiliki kontrol dari Prajurit Shiah Mesir, yang dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui atau seorang Khalifah yang lemah bernama Al-Adid. Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171, Saladin mendapat pengumuman Imam dengan nama Al-Mustadi, kaum Sunni, dan yang paling penting, Abbasid Khalifah di Baghdad, ketika upacara sebelum Shalat Jumat, dan kekuatan kewenangan dengan mudah memecat garis keturunan lama. Sekarang Saladin menguasai Mesir, tapi secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin, yang sesuai dengan adat kebiasaan mengenal Khalifah dari Abbasid. Saladin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya, menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, tuannya yang resmi, sesudah dia menjadi pemimpin asli Mesir. Dia menunggu sampai kematian Nuruddin sebelum memulai beberapa tindakan militer yang serius: Pertama melawan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para prajurit salib.


Dengan kematian Nuruddin (1174) dia menerima gelar Sultan di Mesir. Disana dia memproklamasikan kemerdekaan dari kaum Seljuk, dan dia terbukti sebagai penemu dari dinasti Ayyubid dan mengembalikan ajaran Sunni ke Mesir. Dia memperlebar wilayah dia ke sebelah barat di maghreb, dan ketika paman dia pergi ke Nil untuk mendamaikan beberapa pemberontakan dari bekas pendukung Fatimid, dia lalu melanjutkan ke Laut Merah untuk menaklukan Yaman. Dia juga disebut Waliullah yang artinya teman Allah bagi kaum muslim Sunni.

Aun 559-564 H/ 1164-1168 M. Sejak itu Asaduddin, pamannya diangkat menjadi Perdana Menteri Khilafah Fathimiyah. Setelah pamnnya meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan Khalifah kepada Shalahuddin Al-Ayyubi.

Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Bizantium yang melancarkan Perang Salib kedua terhadap Mesir. Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M (September). Setelah Khalifah Al-’Adid, khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya di tangan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada puteranya yang masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi seorang wali. Dibawah seorang wali terjadi perebutan kekuasaan diantara putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan menyatakan diri sebagai raja untuk wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Irak bagian utara.

Perang melawan Tentara Salib :
Saladin dan Guy dari Lusignan setelah Pertempuran Hattin, pada tanggal 29 September, Shalahuddin menyeberangi sungai Yordan untuk menyerang Beisan yang ditemukan telah dikosongkan. Hari berikutnya ia memecat pasukannya kemudian membakar kota dan pindah ke barat. Mereka dicegat bala Tentara Salib dari Karak dan Shaubak sepanjang jalan Nablus dan mengambil sejumlah tahanan. Sementara itu, pasukan Tentara Salib utama di bawah pimpinan Guy dari Lusignan pindah dari Sepforis al-Fula. Saladin mengirimkan 500 penyusup untuk mengganggu pasukan mereka dan ia sendiri berjalan ke Ain Jalut. Ayyubiyah tiba-tiba bergerak ke dalam arus Ain Jalut. Setelah serangan-serangan Ayyubiyah termasuk beberapa di Zir’in, Forbelet, dan Gunung Tabor-Tentara Salib masih tidak tergoda untuk menyerang kekuatan utama mereka, dan Shalahuddin memimpin anak buahnya kembali ke seberang sungai bersama seluruh perlengkapan perangnya dengan berlari kecil.

Bagaimanapun juga serangan balik Tentara Salib direspon lebih lanjut oleh Salahuddin. Sebagai tanggapan, Saladin membangun sebuah armada 30 kapal untuk menyerang Beirut pada 1182.

Raynald mengancam menyerang kota suci Mekkah dan Madinah, lalu dibalas oleh Salahuddin dengan dua kali mengepung Kerak (benteng Raynald di Oultrejordain) pada 1183 dan 1184. Raynald menanggapinya dengan menjarah karavan peziarah pada haji pada 1185. Menurut Keturunan Prancis dari William dari Tirus 13 abad kemudian, Raynald menangkap adik Saladin dalam serangan di karavan, meskipun klaim ini tidak dibuktikan dalam sumber-sumber kontemporer, muslim atau Frank, tidak menyatakan menyatakan bahwa Raynald telah menyerang sebuah karavan sebelumnya, dan Saladin mengatur penjaga untuk menjamin keamanan adiknya dan putranya.

Menyusul kegagalan pengepungan Kerak, Saladin sementara mengalihkan perhatiannya kembali pada proyek jangka panjang dan melanjutkan serangan di wilayah Izz-Din (Mas’ud bin Mawdud ibn Zangi), sekitar Mosul, yang telah dimulai dengan beberapa keberhasilan dalam 1182. Namun, sejak itu, Mas’ud telah bersekutu dengan Gubernur kuat Azerbaijan dan Jibal, yang pada 1185 mulai bergerak pasukannya di Pegunungan Zagros, menyebabkan Saladin ragu-ragu dalam serangan itu. Para pembela Mosul sadar bahwa bantuan sedang dalam perjalanan maka mereka meningkatkan usaha , dan Salahuddin kemudian jatuh sakit, sehingga Maret 1186 perjanjian damai ditandatangani.

Pada Juli 1187 Salahuddin merebut sebagian besar Kerajaan Yerusalem. Pada tanggal 4 Juli 1187, pada Pertempuran Hattin, dia menghadapi kekuatan gabungan dari Guy dari Lusignan, Raja Permaisuri Yerusalem dan Raymond III dari Tripoli. Dalam pertempuran ini tentara Salib sendiri sebagian besar dihancurkan oleh motivasi tentara Salahuddin. Ini adalah bencana besar bagi Tentara Salib dan sebuah titik balik dalam sejarah Perang Salib. Salahuddin menangkap Raynald de Châtillon dan secara langsung bertanggung jawab pada eksekusinya, sebuah pembalasan atas menyerangnya terhadap kafilah Muslim. Para anggota kafilah ini sudah meminta pengampunan dengan menyatakan gencatan senjata antara Muslim dan Tentara Salib, tapi Raynald de Châtillon mengabaikan dan menghina Nabi Muhammad SAW sebelum dia membunuh dan menyiksa beberapa dari mereka.

Guy dari Lusignan juga ditangkap oleh Salahuddin. Melihat pelaksanaan hukuman mati  Raynald, ia takut ia akan menjadi yang berikutnya, tapi hidupnya diselamatkan oleh Salahuddin dengan kata-kata (berbicara tentang Raynald): ”Bukan keinginan raja-raja untuk membunuh raja-raja, tetapi dia telah melampaui batas, dan itulah sebabnya aku memperlakukannya demikian”.

Pembebasan Yerusalem
Saladin telah menangkap hampir semua Tentara Salib. Yerusalem menyerah kepada pasukannya pada tanggal 2 Oktober 1187 setelah pengepungan. Sebelum pengepungan, Salahuddin telah menawarkan untuk menyerah kepada tentara salib, namun ditolak. Salahauddin membebaskan sekitar 500 sandera muslim dan situs-situs suci umat islam dari ancaman kaum Frank di Yerusalem dengan membayar uang tebusan untuk setiap Frank di kota itu baik laki-laki, perempuan, atau anak. Setelah memenangkan Yerusalem, Salahuddin memanggil orang-orang Yahudi dan mengijinkan mereka untuk menetap di kota itu. Secara khusus, penduduk Ashkelon, sebuah pemukiman Yahudi yang besar, menanggapi permintaannya.

Tirus, yang terletak di pantai Lebanon modern, adalah kota besar terakhir Tentara Salib yang tidak dikepung oleh pasukan Muslim (tempatnya sangat strategis dan sebenarnya akan lebih masuk akal bagi Salahuddin untuk membebaskan Tirus sebelum Yerusalem, namun Salahuddin memilih untuk membebaskan Yerusalem lebih dahulu karena pentingnya kota terbebut sebagai kota Islam). Kota Tirus kemudian dipimpin oleh Conrad dari Montferrat, yang memperkuat pertahanannya dan berhasil bertahan dua kali dari pengepungan oleh Salahuddin.

Pada 1188, di Tortosa, Saladin membebaskan Guy dari Lusignan dan mengembalikannya pada istrinya, Ratu Sibylla dari Yerusalem. pada mulanya mereka pergi ke Tripoli, lalu ke Antiokhia. Pada 1189, mereka berusaha untuk merebut kembali Tirus kerajaan mereka, tapi ditolak masuk oleh Conrad, yang tidak mengakui Guy sebagai raja. Guy kemudian mulai mengepung Acre.

Perang Salib Ketiga
Kabar mengenai perang Hattin dan jatuhnya Yerusalem terdengar oleh kerajaan Inggris dan dikirimkanlah Prajurit Salib Ketiga didanai oleh kerajaan Inggris dengan misi “khusus Salahuddin”. Richard I dari Inggris (Richard The Lion Heart) memimpin langsung mengepung Acre, menaklukkan kota itu dan mengeksekusi 3.000 tahanan muslim termasuk wanita dan anak-anak. Salahuddin membalas dengan membunuh semua kaum Frank yang diambil dari 28 Agustus-10 September. Bahā’ ad-Dīn menulis, “Kami berada di sana dan mereka membawa dua Franks kepada Sultan (Salahuddin) yang dijadikan tahanan dengan penjagaan ketat, mereka dipenggal di tempat..”

Tentara Salahuddin terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Raja Richard pada pertempuran Arsuf pada tanggal 7 September 1191, di mana Salahuddin dikalahkan. Semua upaya yang dilakukan oleh Richard si Hati Singa untuk merebut Yerusalem menemui kegagalan, namun hubungan Salahuddin dengan Richard I adalah hubungan ksatria yang saling menghormati dalam persaingan militer. Dikisahkan, ketika Richard jatuh sakit dengan demam Salahuddin menawarkan layanan dari dokter pribadinya. Salahuddin juga mengirimnya buah-buah segar dengan salju, untuk mendinginkan minuman dan sebagai pengobatan. Di Arsuf, ketika Richard kehilangan kudanya, Salahuddin mengiriminya dua kuda pengganti. Richard mengusulkan untuk Salahuddin bahwa Palestina, Kristen dan Muslim, dapat bersatu melalui pernikahan adiknya Joan dari Inggris, Ratu Sisilia untuk saudara Saladin, dan bahwa Yerusalem dapat hadiah pernikahan mereka. Sayangnya, kedua orang tersebut belum pernah bertemu muka dan hanya berkomunikasi dengan tertulis atau melalui kurir.

Sebagai pemimpin faksi masing-masing, kedua orang itu sampai kepada suatu kesepakatan dalam Perjanjian Ramla pada 1192, dimana Yerusalem akan tetap berada di tangan Muslim, tapi akan terbuka untuk ziarah Kristen. Perjanjian itu mengurangi Kerajaan Latin sepanjang pantai dari Tirus ke Jaffa. Perjanjian ini berlaku hingga tiga tahun terakhir.

Kematian

A Knight without fear or blame who often had to teach his opponents the right way to practice chivalry“. Sebuah prasasti yang ditulis oleh Kaiser Wilhelm II pada saat dia meletakkan karangan bunga di makam Salahuddin.

Salahuddin meninggal karena demam pada 4 Maret 1193, di Damaskus, tak lama setelah kepergian Richard. Salahuddin telah memberikan banyak barang dan uangnya untuk amal, ketika mereka membuka peti perbendaharaannya, mereka menemukan bahwa tidak ada cukup uang untuk membayar pemakamannya.Salahuddin dimakamkan di sebuah makam di taman luar Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah.

Tujuh abad kemudian, Kaisar Wilhelm II dari Jerman menyumbangkan sarkofagus marmer baru ke makam Salahuddin namun sarkofagus tersebut tidak digunakan. Makam sangat terbuka bagi pengunjung, sekarang makam tersebut memiliki dua sarkofagus: satu kosong terbuat dari marmer dan yang asli yang berisi Salahuddin terbuat dari kayu. Alasan mengapa Salahuddin tidak diletakkan di dalam kubur itu tak lain adalah untuk menghormati dan agar tidak mengganggu tubuhnya. -----

Perang Salib
Panglima pasukan kristen bernama Peter sang Pertapa menggerakan pasukan salib gelombang  kedua berjumlah 40.000 orang tentara. Sepanjang perjalanan tentaranya berbuat  liar dan kejahatan. Mereka juga diperbolehkan melakukan dosa.  Peter sang Pertapa mempunyai cita-cita merebut kota suci Mekkah dari tangan orang-orang Islam, termasuk juga kota Darussalam (jerussalem) yang di dalamnya terdapat Masjidil Aqsha. Gelombang ketigatentara salib dipimpin oleh seorang Biarawan Jerman. Bergerak dari Eropa mereka pada mulanya berhasil merebut sebagian besar daerah Syiria, termasuk kota suci Yerussalem (Darussalam). Namun, sayang mental pasukan salib yang rusak membuat penduduk di negeri tsb menjadi sasaran kekejian pasukan salib. Kebrutalan pasukan kristen melebihi kaum bar-bar. Orang-orang Islam yang sipil dibantai habis-habisan. Mill, seorang ahli kristen, mengemukakan banyak keterangan tentang kejahatan tentara salibis. Pada abad ke-12 Masehi (1.200M) ketika tentara salib berada pada puncak kekejian, raja-raja Jerman dan Prancis; panglima  Richard  yang mendapat julukan “si berhati singa” telah berhasil menguasai banyak medan peperangan dan bersiap sedia menaklukan kota suci. Pada saat itu munculah seorang panglima yang gagah berani dari tentara Islam yang bernama Salahudin Al Ayubi.


Siapa Salahudin Al Ayubi?
Ia lahir tahun 1137 M. ayahnya bernama  Najmuddin Ayub, dan pamannya bernama Asaduddin Sherkoh. Keduanya merupakan pembantu  Raja Syiria Nuuruddin Mahmud. Bahkan pada 8 Januari 1169, Sherkoh diangkat sebagai menteri sekaligus panglima perang oleh Khalifah Fathimiyah Mesir. Pada saat itu, Salahuddin menjabat Perdana Menteri Mesir. 2 tahun kemudian, pamannya, Sherkoh wafat. Disusul oleh wafatnya khalifah. Salahuddin mendapat simpati dan kepercayaan dari para pejabat dan rakyat untuk menjadi Sultan negara Mesir. Tak berapa lama, negeri Syiria yang dipimpin oleh raja belia Malikus Saleh (anaknya Nuruddin Mahmud). Raja belia tersebut amat lemah sehingga Syria pun dikepung oleh pasukan jerman (salib) dan diharuskan membayar upeti kepada mereka. Khalifah Shalahuddin pun turun membela negara Syria. Raja yang masih muda, Malikus Saleh, tak berapa lama wafat (1181-1182). Maka Salahudin diangkat oleh bangsa Syria sebagai khalifah di negeri Syria. Jadi, Sultan Salahuddin diamanati dua negara, yaitu Mesir dan Syria.Pada saat itu, perang salib sedang berkecamuk. Kemunculan dan keberanian Sultan Salahuddin membuat nyali tentara salib ciut. Gencatan senjata diajukan oleh pasukan salib Jerman dibawah pimpinan Frank terhadap Sultan. Adapun sultan, ia selalu mentaati perjanjian, berbeda dengan pasukan salib. Ahli sejarah berkebangsaan Prancis bernama Michoudmenulis: “Pasukan Muslimin menghormati perjanjian bersama itu, sedangkan pasukan kristen menunjukan tanda-tanda melakukan peperangan yang baru.” Benar saja tak berapa lama, pemimpin Kristen bernama Renauld atau Reginald  dari Chatillon menyerang rombongan umat muslim Islam yang melewati markas mereka, membantainya, dan merampas barang-barangnya.Tindakan tersebut membuat Sultan Salahudin turun tangan. Dengan kejadian tsb Sultan bebas bertindak terhadap pasukan kristen, sebab mereka telah melanggar lebih dahulu. Sultan melakukan strategi jitu terhadap tentara kristen, tahun 1187, pasukan sultan menjebak pasukan musuh didekat  Bukit Hittin dan berhasil menaklukannya tanpa mendapat perlawanan berarti. Maka jatuhlah kawasan Hittin kepada pasukan Muslim. Dalam suatu gerakan cepat, pasukan sultan merebut daerah dan negara-negara yang semula telah dikuasai pasukan salib. Pasukan muslimin dibawah pimpinan Sultan berhasil merebut Nablus, Jericho, Ramlah, Caesarea, Asruf, Jaffa, dan Beirut.

Merebut Kembali Darussalam (Yerussalem)
Pada saat itu, Yerussalem berada di bawah penguasaan pasukan Salib. Terdapat 60.000 pasukan kristen di sana. Pasukan muslim di bawah komando Sultan  Salahuddin bergerak masuk ke kota suci tersebut. Pasukan kristen gentar dan akhirnya menyerah tak berkutik kepada pasukan Muslim. Apa yang dilakukan pasukan Sultan setelahnya menaklukan kota Jerussalem? Mereka tidak melakukan kerusakan, tidak melakukan pembantaian, bahkan mereka menunjukan akhlak terpuji; hal ini sangat berbeda dengan sikap pasukan kristen di bawah pimpinan Titus saat merebut kota Jerussalem dari tangan umat Islam dimana mereka membantai dan mengusir penduduk secara tak berperikemanusiaan.

Sejarah mencatat bahwa pembantaian orang kristen terhadap umat Islam disaat merebut Jerussalem berjumlah 70.000 orang Islam sipil dibunuh secara kejam. Pembantaian tsb terjadi 90 tahun sebelum Sultan Salahudin merebut kembali Jerussalem. Saat pasukan Muslim menguasai kota Jerussalem para penduduk beragama kristen dibiarkan tinggal di Jerussalem. Kecuali para tentara kristen diminta untuk meninggalkan kota. Para tentara tsb juga ditahan dan diminta memberikan tebusan sebesar yang mereka rampas selama pendudukan jerusalem. Namun, Sultan Salahudin yang baik hati seringkali memberikan uang tebusan sendiri dan memberi ongkos. Bahkan ia tak tega jika ada seorang ibu yang menggendong anaknya meminta agar suaminya (tentera kristen) dibebaskan tanpa syarat atau memberi bekal untuk perjalanan pulang ke negara asal (eropah).

Pergerakan Pasukan Sultan
Pasukan Sultan bergerak ke Tyre. Di sana menemukan pasukan salib (yang telah dibebaskan) sedang menyusun kekuatan kembali. Mereka langsung dilumpuhkan pasukan sultan. Pasukan muslim berhasil merebut kembali kota yang sebelumnya direbut pasukan salib, seperti kota  Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, Bozair,  dan Derbersak. Sultan Salahudin juga berhasil menangkap bangsawan kristen bernama  Guy de Lasignan. Kemudian Sultan membebaskannya dengan syarat ia harus segera pulang ke Eropa. Namun, Lasignan berkhianat, ia mengumpulkan tentara kristen untuk menyerang kembali kemudian mereka mengepung kota Ptolemais.

Saat Jerussalem jatuh ke pasukan sultan. Bangsa-bangsa di eropa kaget. Mereka menurunkan bantuan tentara salib. Raja-Raja  Jerman dan  Prancisbergerak, serta  Raja Inggris bernama Richard—si berhati singa—bergerak untuk merebut kembali Jerussalem. Mereka mengepung  Acre  (Acre) berbulan-bulan sehingga banyak orangorang Islam menderita kelaparan dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Atas tindakan  Raja Inggris,  yaitu Richard, maka muncullah kemarahan Sultan Salahuddin.

Pasukan muslim bergerak. Dalam sebelas kali pertempuran, pasukan kristen berhasil dilumpuhkan oleh pasukan muslim. Atas kekalahan beruntun,  Raja Richard mengajukan perjanjian damai dengan Sultan Salahuddin. Pada bulan September 1192 berakhirlah perang salib. Para pasukan salib diperintahkan meninggalkan kota suci Jerussalem, mereka memanggul kopor pulang ke eropa. Seorang ahli kristen bernama Michoud  menyatakan: “Pasukan gabungan Barat (Pasukan Salib atau Pasukan Kristen) tidak bisa mendapat apa-apa kecuali merebut  Akra  dan menghancurkan kota  Ascalon. Dalam perang ini, pasukan eropa menderita kerugian yang besar. Dari 600.000 pasukan (6 lakh) yang diutus dalam perang salib, termasuk pasukan-pasukan terbaik dan para ksatria pilihan, namun hanya 100.000 pasukan (1 lakh) saja yang pulang ke Eropa.” Jerussalem atau Darussalam yang di dalamnya terdapat  Masjidil Aqsha akhirnya kembali ke tangan muslim di bawah kepemimpinan Sultan Salahuddin Al Ayubi  setelah dikuasai selama 90 tahun oleh pasukan salib. Kota Darussalam kembali aman dan damai. Berbondong-bondong umat Islam melaksanakan shalat di Masjidil Aqsha. Demikian juga umat kristen diberi kebebasan untuk berkunjung ke tempat-tempat bersejarah peninggalan Yesus.

Demikianlah Sultan Salahuddin mampu menjaga keamanan kota suci ketiga umat Islam, yakni  Darussalam (Jerussalem). Sangatlah penting menjaga keamanan Darussalam sebab disanalah pusat dakwah nabi-nabi terkemuka. Di kota tersebut banyak peninggalan sejarah dari semenjak Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Yaqub, Nabi Musa-Harun, Nabi Daud  sampai Nabi Sulaiman. Yang dilanjutkan oleh Keluarga Imran (Ali Imran), Nabi Zakariya, Nabi Yahya, Siti Maryam, sampai Nabi Isa.  Itulah Sultan Salahudin seorang pimpinan yang salih berhasil menciptakan ketentaraman umat Islam melalui mewujudkan ketentraman tiga kota suci yaitu Mekkah, Madinah, dan Darussalam.

Trilogi Peperangan
Bagi memperkukuhkan tentera Islam, Salahuddin meminta negara Islam diurus di bawah satu pemerintahan. Walaupun cadangannya tidak dipersetujui sesetengah pihak termasuk pemimpin Syria, cita-cita Salahuddin itu termakbul.

Dalam bulan Zulkaedah 570 Hijrah (Mei 1175 Masihi), khalifah Abbasiyyah mengisytiharkan Salahuddin al-Ayubi sebagai Sultan Mesir dan menggelarkan dirinya sebagai Sultan al-Islam wa al-Muslimin. Pada tahun itu juga beliau membina kota pertahanan di Kaherah.

Pada tahun 583 Hijrah (1187 Masihi) berlaku Perang Salib kedua, yang juga dikenali sebagai Perang Hittin. Peperangan ini dipimpin sendiri oleh Salahuddin al-Ayubi hingga membuka jalan mudah untuk menawan kembali Baitulmaqdis.

Pada tahun 588 Hijrah (1192 Masihi) berlaku Perang Salib ketiga, hasil dendam dan kekecewaan golongan pembesar Kristian. Mereka berusaha merampas semula Baitulmaqdis daripada orang Islam. Walaupun perang Salib yang ketiga itu menggabungkan seluruh kekuatan negara Kristian, mereka tidak mampu menggugat kekuatan tentera Salahuddin al-Ayubi.

Pihak Kristian mengalami kekalahan dan ramai tentera terbunuh dan tertawan. Baitulmaqdis yang dikuasai orang Kristian selama 88 tahun, dapat ditakluki semula oleh Salahuddin al-Ayubi.

Lane-Poole (penulis Barat) mengesahkan, kebaikan hati Salahuddin mencegahnya daripada membalas dendam. Beliau menulis bahawa Salahuddin menunjukkanketinggian akhlaknya ketika orang Kristian menyerah kalah. Tenteranya sangat bertanggungjawab, menjaga peraturan di setiap jalan, mencegah segala bentuk kekerasan sehingga tidak ada kedengaran orang Kristian dianiaya.

Selanjutnya Lane-Poole menuliskan mengenai tindak-tanduk tentera Kristian ketika menawan Baitulmaqdis kali pertama pada 1099. Tercatat dalam sejarah bahawa ketika Godfrey dan Tancred menunggang kuda di jalan-jalan Jerusalem, jalan itu dipenuhi mayat, orang Islam yang tidak bersenjata diseksa, dibakar dan dipanah dari jarak dekat di atas bumbung dan menara rumah ibadat.

Darah membasahi bumi yang mengalir daripada pembunuhan orang Islam secara beramai-ramai. Ia juga mencemarkan kesucian gereja yang sebelumnya mengajar sifat berkasih sayang. Orang Kristian sangat bertuah apabila mereka dilayan dengan baik oleh Salahuddin.

Akhir Riwayat
Beliau mempersembahkan keseluruhan hidupnya untuk jihad di jalan Allah.Semasa berjihad Salahuddin al-Ayyubi selalu membawa sebuah peti tertutup yang amat dijaganya. Orang terdekat menyangka terdapat berbagai batu permata dan benda berharga tersembunyi di dalamnya.Tetapi selepas wafatnya apabila peti dibuka maka yang ditemui hanyalah sehelai surat wasiat dan kain kafan yang dibeli dari titik peluhnya sendiri dan sedikit tanah.

Apabila surat itu dibuka tertulis ” Kafankanlah aku dengan kain kafan yang pernah dibasahi air zam-zam ini, yang pernah mengunjungi kaabah yang mulia dan makam Rasulullah s.a.w. Tanah ini ialah sisa-sisa masa perang, buatkanlah darinya ketulan untuk alas kepalaku di dalam kubur”

Dari tanah tersebut dapat dibuat 12 ketulan tanah yang hari ini terletak di bawah kepala Salahuddin al-Ayyubi. Setiap kali Salahuddin al-Ayyubi kembali dari berperang yang dimasuki bertujuan berjihad kepada Allah, beliau akan berusaha mengumpulkan tanah-tanah yang melekat pada muka dan pakaiannya dan meletakkannya di dalam peti rahsia itu. Beliau telah berjaya mengumpulkan tanah yang boleh dibuat 12 ketulan, kiralah berapa banyak pertempuran yang dihadapinya kerana berjihad bagi menegakkan kalimah Allah!!

Ketika hayatnya, beliau lebih banyak berada di khemah perang daripada duduk di istana bersama keluarga. Siapa saja yang menggalakkannya berjihad akan mendapat kepercayaannya. Apabila hendak memulakan jihad melawan tentera salib, beliau akan menumpukan seluruh perhatiannya kepada persiapan perang dan menaikkan semangat tentera.

Di medan perang, beliau bagaikan seorang ibu garang kehilangan anak tunggal. Beliau bergerak dari satu hujung medan peperangan ke hujung yang lain untuk mengingatkan tenteranya supaya benar-benar berjihad di jalan Allah.

Beliau juga akan pergi ke seluruh pelosok tanah air dengan mata yang berlinangan mengajak manusia supaya bangkit membela Islam. Beliau meninggal dunia pada 27 Safar 589 Hijrah (1193 Masihi) pada usia 55 tahun di Damsyik, Syria slepas memerintah selama 25 tahun. Beliau sakit selama 14 hari sebelum menghembuskan nafas terakhir.

Pernah satu ketika, Salahuddin Al-Ayyubi menyuruh wazirnya balutkan tubuh dia dengan kain kafan tapi Salahuddin Al-Ayyubi pesan supaya tangannya dibiarkan terbuka. Wazirnya menjawab “Aku tidak sanggup melakukannya”. Kata Salahuddin Al-Ayyubi, “Kalau begitu, engkau lakukannya di saat aku mati nanti. Sampai waktunya yang telah ditetapkan, Salahuddin menghembuskan nafas yang terakhir. Wazirnya melaksanakan pesan Salahuddin Al-Ayyubi. Seluruh tubuhnya dibalut dengan kain kafan kecuali tangannya dibiarkan terbuka. Semasa jenazah diusung, ramai la yang melihat tangan Salahuddin Al-Ayyubi tak berbalut. Mereka bertanya kepada wazir Salahuddin Al-Ayyubi “Kenapa engkau biarkan tangannya dibiarkan terbuka?” Jawab wazir tersebut, “Baru kini aku mengerti. Salahuddin Al-Ayyubi ingin menunjukkan bahawa tiada ada apa yang akan dibawa ketika mati nanti.” 

Sinopsis
Kepiawaian  Sultan Salahuddin menaklukan pasukan salib tidak hanya dikenal oleh umat Islam, melainkan ia juga telah menjadi legenda bangsa Eropa. Sultan Salahuddin yang wafat 4 Maret 1193, tidak lama setelah merebut kota suci, telah meninggalkan keteladanan yang sangat berkesan dalam ingatan umat Islam. Ia melambangkan seorang panglima yang penyayang, sederhana, dan memperlakukan non-Muslim dengan perlakuan yang manusiawi. Tidaklah heran jika ia tidak hanya menjadi panutan muslim, melainkan ia pun disegani oleh balatentara dari eropa, bahkan sampai kini Sultan Salahuddin tetap menjadi panutan mereka.  Jamil Ahmad mengutip pernyataan  Philip K. Hitti, seorang ilmuwan Eropa: “Sikap terpuji Sultan Salahudin telah menyentuh imajinasi penulis-penulis kisah berbahasa Inggris, para penulis  novelis modern dan ia juga selalu dikenang sebagai suri teladan bagi kesopanan dan kekesatriaan.”

Kisah Penaklukan Pembebasan Eropa




Andalusia adalah sebuah negeri yang terletak di semenanjung Iberia, meliputai Spanyol dan Portugal sekarang. Negeri ini pernah dikuasai oleh bangsa Vandal semenjak abad 1 Masehi. Mereka datang dari utara skandinavia dan diperkirakan berasal dari Jerman. Dahulu negeri ini desebut dengan Vandalusia yang berarti tanah bangsa Vandal. Bangsa Vandal sangat terkenal dengan kebrutalan, kekejaman dan kejahatannya, sehingga dalam bahasa inggris kata Vandalisme identik dengan segala bentuk kekejaman, kejahatan, ekstrimis dan tindakan barbarian.
Kemudian sekitar Abad 5 Masehi datang bangsa Gothic Kristen menguasai negeri ini dan dikenal dengan kerajaan Visighotic Barat.

Orang islam menyebutnya dengan Wandalusia, kemudian hari menjadi Andalusia. Semua orang terheran kenapa begitu cepat terjadi perbaikan kondisi di negeri yang terkenal dengan Vandalisme ini setelah kedatangan islam.

Ketika itu Andalusia diperintah oleh Raja Roderic yang baru saja berhasil menggulingkan pemerintahan Ghaitasya. Roderic memerintah dengan sangat kejam, dimana para penguasa menjadi para tuan tanah, kemiskinan di seantero negeri, perampokan, kekerasan dan kezaliman di setiap tempat, pelecehan kehormatan dan pemerkosaan kepada kaum perempuan terjadi di mana-mana, kondisi yang sangat memprihatinkan setiap manusia yang memiliki hati nurani dan fitrah. Sehingga banyak diantara penduduk Andalusia melakukan eksodus ke Afrika utara yang dikuasai kaum muslimin saat itu.

Naiknya Roderic memberikan dampak Buruk kepada Julian (teman Ghaitasya) yang menguasai kota Sabtah (Ceuta) yang terletak di Maghrib (Maroko sekarang) sekitar 13 km dari Andalusia dengan dibatasi oleh laut.
Anak-anak Raja Ghaitasya meminta bantuan kepada Julian untuk membalas kematian ayah mereka dan mengembalikan harta yang dirampas oleh Roderic. Bahkan kekejaman Roderic menimpa keluarga Julian. Dikabarkan, anak perempuan Julian yang berada di Andalusia diperkosa oleh Roderic. Berita ini sampai kepadanya melalui surat yang yang dikirim puterinya yang bernama Florinda, Julian sangat marah kepada Roderic.

Melalui utusannya, Julian meminta bantuan kepada Thariq bin Ziyad, panglima islam dari bangsa Barbar yang menguasai kota Thanja (Tangier) atas amanah dari Musa bin Nushair, Gubernur Afrika utara. Kota ini terletak persis di sebelah kota Sabtah yang dikuasai Julian, satu-satunya kota Afrika utara yang belum dikuasai kaum muslimin.

Julian menawarkan tiga hal yang berisi penyerahan kekuasaan pelabuhan kota Sabtah kepada Thariq, penyediaan sejumlah kapal untuk membawa pasukan muslimin menyeberangi lautan menuju Andalusia serta gambaran geografis dan kondisi alam Andalusia yang akan menunjuki rute perjalanan pasukan, dengan harapan Thariq mau melakukan penyerangan ke Andalusia yang dikuasai Roderic dari kerajaan Visigothic.

Berita ini disampaikan Thariq di Qairawan kepada Musa bin Nushair selaku Gubernur Afrika utara. Demikian tadbir Allah mengatur kesuksesan niat Musa bin Nushair untuk menaklukan Andalusia, dengan mendatangkan bantuan dari musuhnya sendiri. Sebenarnya Musa sudah lama berniat menaklukan Andalusia, namun niatnya terhenti dengan keberadaan Julian di Sabtah, dan pasukan Romawi di pulau Biliar. Selain itu dia tidak memiliki cukup kapal untuk membawa pasukan muslimin menyeberangi lautan, apa lagi pasukan muslimin terpencar di berbagai belahan bumi Afrika utara, yang suatu saat bisa saja terjadi pemberontakan apabila mereka ditarik dari posisi, ditambah Musa tidak mengetahui geografis Negara Andalusia.

Selaku gubernur, Musa menyampaikan berita tersebut kepada pimpinan struktur tertinggi, khalifah Al-Walid bin Abdul Malik di Damaskus dan meminta restunya. Khalifah mengizinkan rencana penaklukan ini dengan catatan, kaum meuslimin harus melakukan survey langsung guna menghindari tipu daya dan konspirasi yang mungkin saja disiapkan dalam tawaran Julian.

Bulan Ramadhan tahun 91 H, Musa mengirim 500 orang pasukan ke Andalusia dipimpin Tharif bin Malik untuk melakukan ekspedisi ke Andalusia. Mereka mendarat di sebuah pantai yang sekarang disebut Tarifa.
Setelah suksesnya Tharif dalam ekspedisi ini, selama setahun penuh Musa mempersiapkan 7.000 prajurit yang mayoritas muslim Barbar.
Tepat bulan Sya'ban tahun 92 H pasukan muslimin di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad mendarat di dekat sebuah gunung karang yang kemudian hari dinamakan Jabal Thariq (gibraltar).

Mereka dihadang oleh sekelompok penjaga dari pasukan Visigothic di daerah Jazirah Khadra' (pulau hijau). Sebelum dimulai pertempuran, Thariq menawarkan islam kepada mereka, atau membayar jizyah. Kesombongan merasuki pasukan penjaga tersebut, pertempuran berkecamuk dan berakhir dengan kemenangan di tangan kaum muslimin. Ini adalah permulaan pertempuran dimana pasukan Roderic yang sesungguhnya belum turun.

Pemimpin Gothic di daerah itu langsung mengirim surat kepada Roderic di Toledo, memberitakan tentang pertempuran yang baru terjadi. Dia mengatakan, "Bantulah kami hai Roderic!. Sungguh telah datang kepada kami satu kaum, kami tidak tahu apakah mereka penduduk bumi atau penduduk langit!?".

Merespon hal tersebut Roderic langsung menyiapkan 100.000 tentara berkuda lengkap dengan peralatan perang untuk menggempur 7.000 pasukan yang dipimpin Thariq.

Melihat realita di lapangan, Thariq meminta bantuan kepada Gubernur Musa di Qairawan untuk mengirim bala bantuan. Musa mengirim 5.000 pasukan dipimpin oleh Tharif bin Malik. sehingga pasukan Thariq semuanya berjumlah 12.000 tentara pejalan kaki.

Thariq mencari tempat strategis untuk menempatkan pasukannya dekat sungai Guadalete, sebagai arena pertempuran terbuka melawan pasukan Visigothic,. Di lembah ini Jendral Thariq yang Ahli strategi menjadikan bagian belakang sampai ke kanan mereka adalah gunung yang melindungi pasukan dari serangan pasukan Roderic yang datang dari arah selatan sampai timur lembah. Pada bagian kiri terdapat sebuah danau atau sungai Guadalete dan Thariq menempatkan sejumlah pasukan dipimpin Tharif untuk menjaga bagian belakang mereka, sehingga yang terbuka hanya bagian depan.

Dari jauh kelihatan Roderic datang penuh kesombongan memakai mahkota emas dan baju kebesaran dihiasi emas sambil duduk di atas singgasa berlapis emas, membawa 100.000 tentara berkuda dengan beberapa keledai yang membawa tali guna mengikat kaum muslimin untuk dijadikan budak selepas perang.

Tepat pada 28 Ramadhan 92 H bertemulah dua kelompok besar. Pasukan muslimin yang selalu mencari syahid dan keridhaan Tuhan mereka bertemu pasukan salib Kristen yang selalu mencari kehidupan dunia dan melakukan dosa kepada Tuhan mereka.

Sejarah mencatatnya dengan nama perang Wadi Barbath atau pertempuran Guadalete. Berlangsung selama 8 hari berturut-turut, Lautan tentara bergantian menyerang kaum muslimin, namun mereka melewati hari-hari sulit itu, dengan sabar dan pengorbanan.

Pertempuran akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin dengan 3.000 orang syahid. Banyak yang tewas dari pasukan salib. Roderic sendiri dikabarkan tewas di pertempuran. Meski ada yang menyebutkan dia melarikan diri dengan sisa tentaranya. Tetapi kehancuran besar melumpuhkan pasukan salib.

Pasukan muslimin mendapatkan harta rampasan yang tak ternilai. Mereka menjadi pasukan berkuda dimana sebelumnya mereka adalah pasukan pejalan kaki.

Dari Guadalete (wadi barbath), Thariq langsung menuju utara menaklukan kota Seville.. Meskipun kota ini memiliki benteng yang kokoh dan pertahanan yang kuat, namun mudah dan tanpa perlawanan Thariq menguasainya. Rupanya kemenangan dan kehebatan pasukan Thariq tersebar ke seluruh Eropa. Sesuai sabda Rasullullah Saw “Aku dimenangkan oleh Allah dengan ketakutan (yang dilemparkan kepada hati musuh) dengan perjalanan satu bulan”. Penduduk kota Seville bersedia membayar jizyah satu dinar setiap tahun kepada kaum muslimin.

Setelah Seville, Thariq menuju kota Astoja untuk penaklukan. Kejadian yang sama di Seville terjadi kembali. Penduduk Astoja memilih perdamaian dengan membayar jizyah dari pada masuk ke medan perang.
Dari kota ini Thariq melakukan hal yang sangat cemerlang. Dia membagi pasukannya kepada beberapa kelompok batalion yang terdiri sekitar 700 tentara di setiap batalionnya. Batalion-batalion tersebut disebar untuk menguasai bagian selatan Andalusia yang terdiri dari kota Cordoba, Granada, Malaga dan Murcia. Satu persatu kota-kota tersebut jatuh ke tangan kaum muslimin.

Sementara Thariq dengan pasukan utama menuju utara untuk menaklukkan Toledo, ibu kota kerajaan Visigothic yang terkenal sangat kokoh dengan benteng yang kuat di bagian selatan kota, dikelilingi oleh gunung-gunung besar di timur, utara dan barat kota. Namun untuk kesekian kalinya Thariq dapat menguasai kota Eropa dengan mudah dan penduduknya bersedia membayar jizyah seperti penduduk kota lainnya. Kemudian Thariq menaklukan kota Jaen.

Ketika itu datang perintah dari Gubernur Musa untuk menunggu kedatangannya di Toledo atau Jaen. Dia khawatir terjadinya pengepungan kekuatan Kristen terhadap pasukan muslimin yang hanya berkekuatan 9.000 prajurit.

Di dunia islam juga tersebar berita kemenangan besar Thariq dan pasukannya di Eropa. Hal ini membangkitkan semangat kaum muslimin untuk


Sumber : http://otakberita.blogspot.com/2012/08/kisah-penaklukan-pembebasan-eropa.html#ixzz3N048zmn1
Perang Tartar Mongol terhadap Daulah Islam dan Penghianatan Syiah terhadap Daulah Islam
 
 
Pertengahan bulan Muharam 656 H, pasukan Tartar yang dipimpin Hulagu Khan dengan jenderal perang Kitbugha Noen sampai di benteng Baghdad. Mereka mulai menggali parit dan membangun pangkalan militer untuk bersiap menyerang Baghdad. Majaniq pelempar batu, kendaran-kendaraan perang dan peluncur anak panah siap dioperasikan, menjadikan Baghdad sebagai sasaran empuk baik siang maupun malam.
Mereka adalah bangsa yang telah diisyaratkan kemunculannya oleh Rasulullah saw . Dalam sebuah hadist sahih yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Imam Muslim ;
” Akan terjadi hari Kiamat hingga kalian memerangi satu kaum yang sandal-sandal mereka terbuat dari bulu, dan kalian memerangi bangsa Turk yang bermata sipit, wajahnya merah, hidungnya pesek wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.”
‘Sesungguhnya umatku akan digiring oleh satu kaum yang berwajah lebar, bermata sipit, wajah-wajah mereka seperti tameng (hal itu terjadi tiga kali), hingga mereka dapat mengejarnya di Jazirah Arab. Adapun pada kali yang pertama, selamatlah orang yang lari darinya. Pada kali kedua, sebagiannya binasa dan sebagian lainnya selamat, sementara pada kali yang ketiga, mereka semua membunuh yang tersisa.’ Para Sahabat bertanya, ‘Wahai Nabiyullah! Siapakah mereka?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah bangsa Turk.’ Beliau berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, niscaya kuda-kuda mereka akan ditambatkan di tiang-tiang masjid kaum muslimin.’”
Dia (‘Abdullah) berkata, “Setelah itu Buraidah tidak pernah berpisah dengan dua atau tiga unta, bekal perjalanan, dan air minum untuk kabur sewaktu-waktu, karena beliau mendengar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang musibah yang ditimpakan oleh para pemimpin Turk.”
Inilah mereka bangsa Mongol atau Tartar yang dengan kekuatan 200.000 tentara melenyapkan Kekhalifahan Abbasiyah dari muka bumi hanya dalam kurun waktu 40 hari .Bagdad bersimbah darah , sungai-sungai berubah warna bercampur dengan tinta-tinta ilmu pengetahuan dan bau anyir mayat dimana-mana .Para ahli sejarah mencatat peristiwa ini penuh pilu dan air mata .
Tetapi berapa banyak generasi Islam yang tahu tentang ini ?
Pada akhirnya kebenaran selalu menang .Namun untuk sampai kepada kemenangan ada berbagai peristiwa .Dan inilah peristiwa sejarah yang tak boleh dilupakan ” Perang Ain Jalut “.
****
Haruslah kita pahami saat itu seluruh negeri Islam yaitu Baghdad, Syria dan Asia Tengah sudah jatuh ke tangan tentara Mongol. Hanya tinggal tiga negeri Islam yang belum dimasuki yaitu Makkah, Madinah dan Mesir. Maka Hulagu Khan yang merupakan cucu dari Jenghis Khan terus merangsek berupaya menaklukkan negeri yang lain.
Siapa yang menduga bangsa primitif yang jauh dari peradaban pernah mengusai 1/2 dari daratan bumi ini. Bangsa Mongol yang nomaden memutarbalikan semua fakta sejarah. Bagi dunia Islam, penaklukkan oleh Mongol ini mungkin dilihat sebagai suatu pendahuluan, sekaligus miniatur keluarnya Ya’juj Ma’juj pada akhir zaman.
Inilah pendapat dari para Ulama Islam tentang bagaimana nanti peristiwa Ya’juj dan Ma’juj walaupun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa bangsa Mongol ini merupakan keturunan Ya’juj dan Ma’juj namun tidak perlu sampai diperdebatka karena hal terpenting yang harus dipahami adalah bagaimana peristiwa ini terjadi
Para ulama Islam saat itu, hampir tidak mampu mencatat kronologis peristiwa serangan basa barbar ini. Tidak pernah terjadi malapetaka sedasyat itu dalam sejarah bangsa manapun. Seperti yang terucap dari panglima perang Mongol saat pertama kali menguasai kota Baghdad, “Aku adalah malapetaka yang diturunkan Tuhan ke muka bumi untuk menghukum ..”
******
Anda pasti bertanya-tanya bagaimana Eropa saat itu ?
Ya saudara perlu anda tahu Eropa itu masih dalam masa kegelapan .Bahkan Uni Soviet kala itu merupakan negeri-negeri yang berada dalam penaklukan bangsa Mongol .
Ada satu peristiwa penting yang jarang diingat atau bahkan belum banyak yang tahu tentang skenario Allah yang diperlihatkan dalam Perang Ain Jalut .Dan sosok pemberani lagi kuat imannya yang Allah pilih untuk mengajarkan kepada kita bahwa pada akhirnya kemenangan akan menang melawan yang batil ( keburukan)
*****
 Anda perlu kenal dengan jelas siapa sosok pemberani yang mematahkan mistis tentang kekuatan bansa Mongol .
Ya , sosok ini adalah Saifuddin Quthuz satu di antara tokoh besar dalam sejarah Islam dan merupakan penjaga benteng terakhir kaum Muslimin pada saat itu . Nama aslinya adalah Mahmud bin Mamdud.. Ia berasal dari keluarga muslim berdarah biru. Quthuz adalah putra saudari Jalaluddin Al-Khawarizmi, Raja Khawarizmi yang masyhur pernah melawan pasukan Tartar dan mengalahkan mereka, namun kemudian ia kalah dan lari ke India. Ketika ia sedang lari ke India, Tartar berhasil menangkap keluarganya. Tartar membunuh sebagian mereka dan memperbudak sebagian yang lain.
Mahmud bin Mamdud adalah salah satu dari mereka yang dijadikan budak. Tartar menjuluki si Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz, yang berarti “Singa Yang Menyalak”. Tampaknya sedari kecil Quthuz memiliki karakter orang yang kuat dan gagah. Kemudian Tartar jual si Mahmud kecil di pasar budak Damaskus. Salah seorang bani Ayyub membelinya. Dan ia dibawa ke Mesir. Di sini, ia pindah dari satu tuan ke tuan yang lain, sampai akhirnya ia dibeli oleh Raja Al-Mu’izz Izzuddin Aibak dan kelak menjadi panglima besarnya.
Dalam kisah Quthuz ini, kita bisa mencatat dengan jelas bagaimana skenario ajaib Allah SWT. Tartar telah memperdaya muslimin dan memperbudak salah satu anak-anak muslimin dan mereka jual langsung di pasar budak Damaskus. Untuk kemudian ia diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lainnya, yang akhirnya sampai ke suatu negeri yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Boleh jadi karena usianya yang masih kecil ia tidak melihat negeri jauh ini. Namun, pada akhirnya ia menjadi raja di negeri asing itu dan sepak terjang Tartar yang membawanya dari ujung dunia Islam ke Mesir pun harus berakhir di tangannya!
 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
 
___Penghianatan Syiah:
Seorang ulama bernama Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul Salam bin Taimiyah Al-Harrani atau biasa disebut Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berjuluk hujjatul Islam, termasuk orang yang berjuang melawan pasukan Tartar. Ia juga mengetahui bagaimana kelompok Syiah Nushairiyah berkhianat terhadap kaum muslimin. Karenanya, Ibnu Taimiyah yang tahu persis bagaimana sepak terjang kelompok Syiah ekstrem ini, menyatakan bahwa mereka adalah kaum kafir dan non muslim yang harus diperangi. Ketika orang-orang Tartar mengepung kota Damaskus, Ibnu  Taimiyah dengan lantang mengatakan,”Jangan kalian serahkan benteng ini, meskipun tinggal satu batu bata saja, karena benteng ini adalah untuk kepentingan kaum muslimin. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjaga benteng ini untuk kaum muslimin, sebagai perisai bagi penduduk Syam yang menjadi pusat iman dan sunnah, sampai  Isa Ibnu Maryam Alaihissalam turun di sana.”
Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin yang ditulis penganut Syiah Nushairiyah, Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil dijelaskan bahwa sikap kooperatif mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian dari siasat untuk mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah dirampas oleh kaum Sunni.
Tarikh Al-Alawiyyin juga menjelaskan bagaimana kerjasama tokoh Syiah di Aleppo, Thamur Thusi, yang bekerjasama dengan Timur Lenk untuk menguasai kota tersebut. Timur Lenk membunuh kaum muslimin sunni dan membiarkan mereka yang menjadi pengikut Alawiyah. Timur Lenk adalah penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808 Hijriyah. Anak keturunannya pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai penganut ajaran Syiah. Karenanya, di setiap wilayah kekuasannya, Syiah banyak terlibat dalam pemerintahan, termasuk di negeri Persia (Iran). (Lihat:Tarikh Alawiyyin, hlm. 407)
Negeri Syam, termasuk wilayah Damaskus, berhasil kembali ke tangan kaum muslimin, setelah pasukan Syaifuddin Quthuz dan panglima Malik Azh-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari berhasil mengalahkan pasukan Tartar dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina.
Perang yang berlangsung pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil memukul mundul pasukan Tartar dan membuat mereka lari tunggang langgang menyebar ke beberapa wilayah. Pasukan yang dipimpin oleh Syaifuddin Quthuz dan panglima Baibars, berhasil membunuh seorang pemimpin dari sekte Syiah Rafidhah di Damaskus, karena keberpihakan tokoh tersebut kepada pasukan Tartar dalam merampas dan menjarah harta kaum muslimin.
Dengan kemenangan di Perang Ain Jalut ini, Syaifuddin Quthuz yang berasal dari Kerajaan Mamalik Bahriyah (kerajaan wilayah maritim yang dibangun oleh para budak)  kemudian menggabungkan negeri Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya semakin luas.
Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah Al-Muyassarah fi At-Tarikh Al-Islamiy”. Tim Riset dan Studi Islam sebagai penyusun buku itu, membuat sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”. Buku yang diberi kata pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani ini menulis, “Baibars berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang dari Sekte Ismailiyah di Syam. Orang-orang Eropa menyebut sekte ini Al-Hasyasyin. Sebelumnya mereka adalah ancaman bagi raja-raja Mesir, sejak masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.” (Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (terj), Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013, hlm.478)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada masa lalu, Syiah Rafidhah, baik itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah, Qaramithah, dan Syiah ekstrem lainnya telah melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam di Syam. Sejarah juga mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para pemimpin Islam. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk Baitul Maqdis, semasa berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah Rafidhah, baik pengaruh dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin mereka. Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah Rafidhah yang bercokol di Mesir, Yaman, dan Syam. (Lihat: Dr. Ali Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa juhduhu fi Al-Qadha Ad-Daulah Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait Al-Muqaddas, Mesir: Daar Ibnu Al-Jauzi, 2007, hlm. 257-258
Pengkhianatan Selanjutnya
Ketika Daulah Utsmaniyah berusaha menguasai Syam dan merebutnya dari penjajahan bangsa Eropa; Perancis dan Inggris, pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung. Jumlah mereka yang minoritas, selalu menyimpan ketakutan akan sikap diskriminasi kelompok Sunni yang menjadi warga mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh Syiah Nushairiyah Shaleh Al-Alawi bahkan menjalin hubungan dan menandatangani nota kesepahaman dengan tokoh sekular Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal Attaturk pada tahun 1920. Nota kesepahamaman ini tentu saja bertujuan membendung pengaruh imperium Utsmani di Syam, khususnya di wilayah Suriah yang juga menjadi musuh kaum sekularis seperti Attaturk. Karenanya, Attaturk dengan organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai Persatuan dan Kemajuan) berhasil menumbangkan  Khilafah Utsmaniyah pada 1924.
Kelompok Syiah Nushairiyah tentu mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan entitasnya jika Daulah Utsmaniyah tetap bercokol di Syam. Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah yang Sunni akan memposisikan mereka secara diskriminatif. Kekhawatiran inilah yang kemudian terus terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai pengkhianatan terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-musuhnya. Padahal sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi untuk merebut kekuasaan sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan terbukti, rezim Syiah Nushairiyah yang minoritas, justru melakukan berbagai aksi diskriminasi dan kekejaman terhadap kaum muslimin di Suriah.
Sebuah dokumen luar negeri Prancis, Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936 melansir adanya surat dari tokoh-tokoh Alawiyah/Nushairiyah kepada pemerintah Perancis, yang di antaranya ditandatangani oleh Sulaiman Al-Asad, kakek dari Hafizh Asad.
Surat tersebut berisi permohonan agar Prancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena mereka khawatir, jika Prancis hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat tersebut berbunyi:
“Presiden Prancis yang terhormat,
Sesungguhnya bangsa Alawiyah yang mempertahankan kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan penuh semangat dan pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat Muslim (Sunni), dalam hal keyakinan beragama, adat istiadat, dan sejarahnya. Mereka tidak pernah tunduk pada penguasa dalam negeri.
Sekarang kami lihat bagaimana penduduk Damaskus memaksa warga Yahudi yang tinggal bersama mereka untuk tidak mengirim bahan pangan kepada saudara-saudara mereka kaum Yahudi yang tertimpa bencana di Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang datang ke negeri Arab yang Muslim dengan membawa peradaban dan perdamaian, serta menebarkan emas dan kesejahteraan di negeri Palestina, tanpa menyakiti seorang pun, tak pernah mengambil sesuatupun dengan paksa. Namun demikian, kaum muslimin menyerukan “Perang Suci” untuk melawan mereka, meskipun ada Inggris di Palestina dan Perancis di Suriah.
Kita menghargai kemuliaan bangsa yang membawa kalian membela rakyat Suriah dan keinginannya untuk merealisasikan kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh dari tujuan yang mulia. Ia masih tunduk pada ruh feodalisme agama terhadap kaum muslimin.
Kami sebagai rakyat Alawiyah yang diwakili oleh orang-orang yang bertandatangan di surat ini berharap, pemerintah Perancis bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan menyerahkan nasib dan masa depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin bahwa harapan kami pasti mendapaykan dukungan yang kuat dari mereka untuk rakyat Alawiyah, teman yang telah memberikan pelayanan besar untuk Prancis.”
Demikian surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah Nushairiyah, yang membujuk Prancis untuk tetap menjamin dan mendukung keberadaan mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad (kakek Hafizh Asad), Muhammad Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha Hawwasy, Sulaiman Mursyid, dan Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah: Sejarah, Aqidah dan Kekejaman Terhadap Ahlu Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera, 2013, hlm. 65-66)

Pada saat ini, keberadaan rezim Syiah Nushairiyah di Suriah mendapat dukungan yang kuat dari kelompok Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka mempunyai kesamaan ajaran, ideologi, bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam mereka merebut kekuasaan dari kelompok Sunni. Mereka yang hidup minoritas di Suriah, kemudian berkolaborasi dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok militer Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan survive, serta mengamankan kekuasaan mereka yang direpresentasikan dalam kekuasaan Rezim Bashar Al-Asad. Dimanapun, kelompok minoritas akan selalu waspada, struggle,  dan berjuang habis-habisan untuk mengamankan eksistensinya. Bahkan, dalam kasus Suriah saat ini, mereka berusaha mengamankan kekuasaan yang sudah sejak tahun 70-an mereka pegang. Mereka khawatir, jika umat Islam berkuasa, maka keberadaan mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya adalah pengkhianat yang tak bisa hidup berdampingan dengan kaum muslimin, selama akidah mereka melecehkan para sahabat, dan mengganggap Ali  bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu sebagai tuhan atau menyatu dengan Tuhan.
Untuk mempertahankan keberadaanya, Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak segan-segan untuk berkhianat, bahkan berkolaborasi dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Sebagai kelompok minoritas di Suriah, mereka menerapkan prinsip, “Sebaik-baik pertahanan adalah menyerang!”
Adalah Ibn Al-Alqami seorang syiah, wazir khalifah Al-Musta'shim melakukan pengkhianatan dengan bergabung dengan pasukan Tartar dan berkata manis di depan Khalifah, merayunya untuk keluar menuju Hulagu Khan.

Perjanjian damai disepakati, Khalifah memerintahkan seluruh tentara dan warga Baghdad untuk meletakkan senjata. Sementara Khalifah digiring tentara Tartar menuju Istana. Di sana, seluruh barang berharga dirampas pasukan Tartar dan orang-orang yang berkhianat. Khalifah dibunuh dengan cara dimasukkan ke dalam tas besar lalu ditendang oleh sejumlah tentara. Menandakan berakhirnya kekuasaan dinasti Abbasiah.

Pasukan Tartar mulai memasuki pemukiman penduduk dan menebarkan bencana yang besar bagi umat Islam. Mereka membunuh setiap orang yang mereka jumpai, hingga bayi-bayi yang masih berada dalam kandungan. Mereka menjarah semua harta, merobohkan rumah-rumah dan membakar buku-buku, hingga air sungai Tigris berwarna hitam penuh abu bercampur darah.

Bulan Shafar 658 H, pasukan Tartar tiba di Aleppo. Di sana, apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan di Baghdad. Selanjutnya mereka meluluhlantakkan kota Damaskus. Saat itu, kaum Nasrani Damaskus mulai menampakkan kesombongannya. Mereka mulai mengangkat salib-salib mereka, menuangkan khamar di masjid-masjid dan menyiramkannya kepada orang-orang yang sedang shalat.

Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi mengapa Hulagu sangat bernafsu menaklukkan wilayah muslim dan kejam setiap kali dia berhasil menguasainya. Hal itu disebabkan Ibu Hulagu, istri dan sahabat dekatnya, Kitbuqa termasuk kristen fanatik yang memendam kebencian mendalam terhadap orang muslim. Juga para penasehatnya banyak yang berasal dari Persia yang memang berharap dapat membalas dendam atas kekalahan mereka satu abad sebelumnya ketika Persia ditaklukan oleh pasukan muslim pada masa Khalifah Umar bin Khattab.

Perang Ain Jalut

Sebelum menyerang Mesir, Hulagu Khan mengirim surat kepada penguasa Mesir, Muzhaffar Saifuddin "Quthuz" bin Abdillah Al-Muiz yang berasal dari keturunan para Sultan Al-Khawarizmi di Asia Tengah, yang sebelumnya telah dibumi hanguskan oleh Kaisar Jengis Khan, kakek Hulagu Khan. Dalam suratnya Hulagu Khan meminta Saifuddin Quthuz untuk menyerah. Ketakutanpun menghantui warga mesir, hingga akhirnya Saifuddin Quthuz menyerukan semangat jihad, atas nasehat Al-Imam Izzuddin bin Abdis Salam.

Ramadhan 658 H, bersama 40.000 tentara, Saifuddin Quthuz bergerak menuju Shalihiyah, lalu mengobarkan semangat jihad di sana, kemudian mengangkat Ruknuddin Baibars untuk memimpin Pasukan menuju Gaza. Sementara itu Hulagu Khan memerintahkan Kitbugha Noen panglima Tartar yang kristen, menggantikan kedudukannya, sedangkan dia sendiri pulang ke Cina untuk ikut serta dalam pemilihan Khan penguasa Mongol, setelah kematian penguasa sebelumnya, yaitu Mongke Khan, kakak Hulagu Khan.

Di Ain Jalut, dataran luas yang dikelilingi perbukitan di bagian barat, Saifuddin Quthuz menyusun strategi perang menghadapai tentara Tartar. Tak disangka datang seorang utusan dari Sharimuddin Baibars, seorang pemimpin Syam yang bekerja sama dengan Hulaghu Khan dalam menaklukkan negara Islam. Dia menyampaikan pesan bahwa Sharimuddin Baibars akan membantu pasukan Muslimin dari dalam barisan pasukan Tartar Mongol dan membawa tiga informasi penting lainnya. Dia menginformasikan bahwa pasukan Tartar Mongol tidak sebanyak pasukan yang telah menaklukkan negara Islam sebelumnya, dan sayap kanan pasukan Tartar Mongol lebih kuat, serta berita bahwa Al-Asyraf al-Ayyuby menarik dirinya untuk memerangi pasukan Muslimin dan akan menghancurkan pasukan Tartar Mongol dari dalam barisan mereka. Mendengar berita tersebut, Saifuddin Quthuz dan para pemimpin militer lainnya antara membenarkan dan meragukan informasi tersebut. Dengan segera mereka mempersiapkan berbagai strategi.

Malam harinya adalah malam ke 25 Ramadhan 658 H, Saifuddin Quthuz dan seluruh pasukan muslimin beribadah dan bermunajat kepada Allah dengan penuh khusyuk agar diberikan kemenangan pada esok harinya.

Setelah menunaikan shalat subuh dengan penuh khusyuk. Matahari di ufuk timur telah menampakkan wajahnya, dari jauh pasukan muslimin melihat pasukan Tartar Mongol datang dalam jumlah besar. Saifuddin Quthuz mengisyaratkan kepada pasukan pertama yang dipimpin Ruknuddin Baibas untuk turun ke medan terbuka yang secara perlahan dan pasukan lainnya bersembunyi di perbukitan.

Melihat kehadiran pasukan muslimin menuruni bukit, Katbugha Noen panglima pasukan Tartar Mongol terkejut dan terkesima melihat kerapian mereka. Tidak menyangka masih ada kaum muslimin yang masih mempertahankan dirinya dan maju ke medan peperangan dengan gagah berani. Ia terbiasa menyaksikan ketakutan kaum muslimin dengan kedatangan pasukan Tartar Mongol di mana saja. Melihat sedikitnya pasukan muslimin, Katbugha Noen bermaksud menghancurkan kekuatan pasukan Islam ini dengan sekali pukulan. Dengan satu perintah ia mengarahkan seluruh pasukannya tanpa meninggalkan pasukan cadangan dengan maksud satu kali serangan saja pasukan Islam luluh lantak.

Pada saat penting ini tampil berperan pasukan beduk dan terompet memberi isyarat dengan arahan Saifuddin Quthuz. Setiap pukulan dan tiupan terompet memiliki makna. Saifuddin Quthuz memberi isyarat maju kepada pasukannya. Dengan serentak, di bawah komando Ruknuddin Baibars pasukan Islam mulai menyerang. Akhirnya kedua pasukan bertemu, dan perang pun tak terelakkan lagi. Senjata saling beradu dan korban berjatuhan. Pemandangan berubah seketika. Tatkala takbir para petani Palestina mengiringi berlangsungnya pertempuran hebat yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya.

Dari jauh Saifuddin Quthuz dengan sabar dan tenang, mengamati dan mengontrol gerakan pasukannya. Kemudian mengisyaratkan untuk melakukan strategi mundur perlahan ke arah selatan 'Ain Jalut memancing pasukan Tartar Mongol ke tengah pasukan Islam yang bersembunyi di perbukitan yang mengelilingi medan 'Ain Jalut. Manuver ini terlaksana dengan baik. Pada waktu yang tepat manuver lainnya dilakukan, isyarat kepungan ditunjukkan oleh Saifuddin Quthuz sehingga pasukan Islam turun dari perbukitan lalu mengepung pasukan Tartar Mongol dari semua penjuru. Katbugha Noen terkejut dengan strategi pasukan Islam dan menyadari bahwa mereka telah dikepung di medan 'Ain Jalut. Tidak ada kesempatan untuk lari. Mereka harus bertempur dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki meski semua gerakan mereka terlihat bebas oleh pasukan muslimin.

Sayap kanan pasukan Tartar sungguh kuat. Hampir saja sayap kiri pasukan muslimin dikuasai dan membalikkan kepungan. Saifuddin Quthuz mengamati pasukannya dan memerintahkan pasukan cadangan untuk membantu sayap kiri pasukan Islam. Namun tetap belum bisa mengimbangi kekuatan Pasukan Tartar Mongol. Saifuddin Quthuz melihat pasukan Islam gentar terhadapa pasukan Tartar, akhirnya Saifuddin Quthuz turun berperang bersama pasukannya. Dengan membuka perlengkapan perangnya ia memacu kuda dan berteriak "wa islamah, wa islamah", langsung menerobos pasukan musuh tanpa ada keraguan dan berpikir panjang dengan masa mudanya yang masih panjang. Ia memberi pelajaran berharga kepada semua kaum muslimin agar mencari syahid dan tidak gentar terhadap musuh. Hal ini menambah semangat dan mental pasukan muslimin untuk mencari syahid fi sabilillah.
Anda perlu kenal dengan jelas siapa sosok pemberani yang mematahkan mistis tentang kekuatan bansa Tartar Mongol .
Ya , sosok ini adalah Saifuddin Quthuz satu di antara tokoh besar dalam sejarah Islam dan merupakan penjaga benteng terakhir kaum Muslimin pada saat itu . Nama aslinya adalah Mahmud bin Mamdud.. Ia berasal dari keluarga muslim berdarah biru. Quthuz adalah putra saudari Jalaluddin Al-Khawarizmi, Raja Khawarizmi yang masyhur pernah melawan pasukan Tartar dan mengalahkan mereka, namun kemudian ia kalah dan lari ke India. Ketika ia sedang lari ke India, Tartar berhasil menangkap keluarganya. Tartar membunuh sebagian mereka dan memperbudak sebagian yang lain.
Mahmud bin Mamdud adalah salah satu dari mereka yang dijadikan budak. Tartar menjuluki si Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz, yang berarti “Singa Yang Menyalak”. Tampaknya sedari kecil Quthuz memiliki karakter orang yang kuat dan gagah. Kemudian Tartar jual si Mahmud kecil di pasar budak Damaskus. Salah seorang bani Ayyub membelinya. Dan ia dibawa ke Mesir. Di sini, ia pindah dari satu tuan ke tuan yang lain, sampai akhirnya ia dibeli oleh Raja Al-Mu’izz Izzuddin Aibak dan kelak menjadi panglima besarnya.
Dalam kisah Quthuz ini, kita bisa mencatat dengan jelas bagaimana skenario ajaib Allah SWT. Tartar telah memperdaya muslimin dan memperbudak salah satu anak-anak muslimin dan mereka jual langsung di pasar budak Damaskus. Untuk kemudian ia diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lainnya, yang akhirnya sampai ke suatu negeri yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Boleh jadi karena usianya yang masih kecil ia tidak melihat negeri jauh ini. Namun, pada akhirnya ia menjadi raja di negeri asing itu dan sepak terjang Tartar yang membawanya dari ujung dunia Islam ke Mesir pun harus berakhir di tangannya!

Akhirnya pasukan Islam dapat mengalahkan pasukan Tartar Mongol di bawah kepemimpinan Saifuddin Quthuz. Kitbugha Noen tewas diantara tumpukan mayat tentara Tartar. Saifuddin Quthuz bersujud dan berkata: "Sekarang aku dapat tidur dengan tenang!".

Selanjutnya Baibars, bergerak menuju Damaskus dan dan Aleppo membersihkan sisa-sisa pasukan Tartar, membebaskan tawanan-tawanan muslim dan menghukum para pengkhianat nasrani yang membantu pasukan Tartar menghancurkan Damaskus.

Pasukan Hulagu yang dikirim untuk membalas kekalahan dari Bani Mamluk sebagian dihadang oleh pasukan Berke Khan, Khan Mongol yang menguasai wilayah Rusia dan Kaukasus yang sudah memeluk agama Islam dan bersekutu dengan Bani Mamluk dalam menghadapi serbuan balasan ini. Terjadilah perang saudara, yang terkenal dengan sebutan perang Berke-Hulagu yang berakhir dengan kekalahan telak dari pasukan Hulagu. Sebagian pasukan Hulagu lainnya yang berhasil sampai di Syria bertempur dengan pasukan muslim dari Bani Mamluk pimpinan Baibars dan berhasil dihancurkan juga.

Menurut sejarawan Rashid al-Din, pada saat kota Baghdad jatuh dan mendengar kekejaman Hulagu, sebenarnya Berke Khan sudah mengirim surat kritikan kepada Mongke atas kelakuan Hulagu tetapi dia tidak tahu bahwa Mongke sudah meninggal saat itu dalam perjalanan ke China. Banyak sejarawan mengatakan banyak jasa yang diberikan oleh Berke Khan sehingga menyelamatkan Timur Tengah dari pembalasan Hulagu.
 
 
 
Sumber :
Wikipedia
The History of Hulagu Khan